Satu tahun berlalu ....
"Argh, rusak lagi ni mesin, parah, parah!" Farhaz mendorong traktor yang seharusnya dinaiki itu, menjadi tenaga kerbau pengganti membajak sawah. "Parah-parah."
Pria itu mendorong mesin besar tersebut tanpa kesulitan, karena memang tenaganya yang di atas rata-rata.
"Untung tinggal dikit, dah." Benar, sebentar saja selesaikan membajak sawah itu.
Hal berikutnya, Farhaz berjalan menyusuri kampungnya nan asri, dan saat di tengah perjalanan ia menemukan seorang anak yang menangis karena baru jatuh dari sepeda.
Farhaz menolong anak itu lebih dahulu, menggendongnya pulang bersama sepertinya.
"Makasih, ya, Bos Farhaz."
"Sama-sama, bilangin kalau make sepeda jangan suka ngebut, tabrakan tunggal jadinya kan." Farhaz lalu pergi dari sana, kembali ke tujuan utamanya untuk ke kebun.
Mengambil beberapa buah dan sayur untuk kebutuhan memasak, tak lupa dia juga menangkap seekor ayam guna disembelih dan dimasak bersama yang lain. Sang ibu yang ada di sana segera memasak apa yang Farhaz bawakan untuknya.
"Selamat makan." Ibunya berkata seraya meletakkan nasi porsi jumbo serta lauk pauk dan pelengkapnya di meja.
"Makasih, Mak." Farhaz cengengesan. "Oh ya, hapeku ada bunyi gak tadi?"
"Ada tadi Emak denger, eh tapi nanti aja ceknya, makan dulu!" tegur sang ibu karena Farhaz siap ngacir.
Farhaz kembali cengengesan. "Oke, Mak."
Semoga gadisnya setia menunggu.
Setelah makan siang, Farhaz menuju kamar, membuka hapenya dan tampak pesan dari Widya di sana.
"Gimana bajak sawahnya?" tanyanya di sana.
Farhaz membalas cepat. "Mesinnya tadi mati, jadi kepaksa didorong manual."
Tak butuh waktu lama, pesan dijawab, "Waduh, capek dong?"
"Enggak, kok, hehe. Udah tinggal dikit, jadi bisa pulang cepet."
"Oh, syukurlah. Udah makan siang belum?"
"Udah, dong." Farhaz memberikan potret dirinya, kebetulan ada beberapa nasi yang nempel di kitaran bibir.
"Aduh, mulutnya bersihin dulu." Farhaz hanya tertawa.
"Kamu sendiri udah makan?"
Widya memberikan potretnya, nyatanya dia makan bersama teman-temannya. "Sudah juga, sama temen-temen."
"Wah, rame tuh, kapan-kapan kalau aku ke sana kita makan bareng sama keluarga guruku, ya."
"Iya tuh, udah lama kamu gak ke sini, kapan kira-kira kamu datang ke sini?" tanya Widya.
"Aku belum tau, tapi aku harap secepatnya." Karena masih banyak kerjaan.
"Oke, aku tunggu, ya."
"Siap!"
Mereka sering bertukar kabar, seperti biasa, dan kadang memberikan potret diri yang kemudian mereka simpan di file khusus pribadi. Semakin hari, meski LDR begini, semakin besar rasa cinta antar keduanya.
Sampai akhirnya ....
"Aku ke sana Minggu nanti ya!" Itu perkataan Farhaz.
"Aku tunggu!"
Dan Widya, setia menunggu di terminal kereta api, menunggu seseorang paling spesial dalam hidupnya datang. Sebuah kereta sampai, Widya yang tadi duduk langsung berdiri, melihat siapa pun yang keluar dari gerbong sana.
Bukan, bukan, bukan dia, bukan ....
"Wiwid!" Widya menoleh, siapa sangka, Farhaz ternyata keluar di gerbong lain.
Dengan saling tersenyum, keduanya berlari ke arah satu sama lain, kemudian berpelukan. Bahkan Farhaz sambil menggendong Widya juga.
"Selamat datang!" sapa Widya hangat. "Oh ya kamu sendirian?"
"Mm-hm, aku aja yang dateng, yang lain sibuk di kampung."
"Aku yakin kamu juga pasti sibuk, tapi nyisihin waktu buat ke sini ...."
Farhaz mengusap puncak kepala Widya. "Enggak juga, emang aku kerja cepat jadi semuanya beres. Ayo, makan-makannya dong, aku laper nih."
"Makan bareng sama Adnan dan yang lain, nanti malem." Widya berkata dan Farhaz agak sendu. "Tapi, apa kamu enggak mau makan sama aku berdua? Nanti aku bikinin nasi campur lauk cacing."
Mendengarnya, Farhaz tertawa geli, itu seperti ingatan indah masa lalu mereka. "Ya udah, aku mau cacing balado."
Keduanya tertawa dan sambil bergandengan tangan, keluar dari area terminal.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Bos Gemoy Gue ✅
Romansa"Weeheeee!" Tiba-tiba, si pria sangar tetapi memang berkharisma itu, berteriak dengan senyum lebar, semua kaget. Dan si karyawan yang tadi dia pegangi kerah, kini dia keteki lehernya. "Lu Wiwid, kan?" Widya terkejut akan hal tersebut, Wiwid katanya...