~00~

83 31 16
                                    

"kau bisa diam tidak? Jika kau bergerak terus menerus lukisanku tidak sempurna."

"Seorang pelukis genius tidak akan terganggu oleh gerakan kecil."

Saat ini mereka sedang berada di taman belakang, di malam ketiga ini sesuai kesepakatan yang mereka buat Daksa akan melukis wajah Khansa untuk memastikan wajah asli masing-masing.

Daksa begitu fokus melukis wajah Khansa, garis demi garis dan titik demi titik ia gabungkan sehingga membentuk pola. Daksa begitu detail saat mengasirkan warna sehingga lukisan menjadi hidup dan terlihat seperti asli.

"Sejak kapan kamu menyukai seni?" Khansa bertanya sambil melihat pantulan daksa dicermin, Khansa duduk berlawanan searah jarum jam, tepatnya dia membelakangi Daksa.

"Sejak TK" ucap daksa yang masih fokus dengan kanvasnya.

"Mengapa kau begitu menyukai seni?aku kira kau hanya seorang laki-laki yang menyukai para gadis."

"Karena seni adalah kebebasan dan menyukai para gadis bukanlah suatu kebebasan." Jawab Daksa, ia menengok kearah khansa dari pantulan cermin. Lalu, beberapa detik kemudian Daksa kembali melanjutkan kegiatannya.

"Daksa, apakah aku boleh bertanya?"tanya Khansa sambil melihat daksa dalam cermin.

"Bukankah sejak tadi kau terus bertanya? Mengapa baru sekarang kau meminta izin." Daksa menghentikan kegiatan lukisnya sebentar, ia membuang nafasnya lalu melihat kearah cermin.

Khansa memutarkan mata malasnya.

Menurutnya Daksa seperti perubahan waktu, begitu cepat sekali berubah, sedetik dia menjadi ramah dan lembut lalu beberapa detik kemudian dia menjadi seorang yang sangat menyebalkan.

"Bukankah dunia ini seperti lukisan? Begitu banyak keindahan, namun mengapa menyakitkan bagiku?"

"Karena itu salahmu sendiri yang terlalu berekspektasi pada keindahan." Daksa kembali dengan posisinya yang awal mengahadap kanvas dan melakukan kegiatan melukisnya.

"Maksudmu?"

"Dunia juga salah satu seni-NYA seperti lukisan dimana pusatnya keindahan, tumbuhan hijau, langit biru, tata Surya, air laut, bunga bermacam-macam warna, namun semua itu hanyalah ujian menurutku."

"Bagaimana bisa kau berpikir keindahan itu sebuah ujian?"

Khansa melihat Daksa tersenyum kecil dari pantulan kaca namun ia tidak mengarahnya masih tetap dengan kegiatan melukisnya.

"Yang indah belum tentu indah yang kau lihat hanyalah dasarnya untuk ujianmu menuju gerbang keindahan utama. Seperti halnya, kau datang ketoko pakaian lalu kau masuk kedalamnya banyak sekumpulan pakaian yang indah dan cantik, tanpa melanjutkan langkahmu kau langsung membeli dan membayarnya, lalu tidak melihat lagi sudut toko. Namun, saat kau sudah membayarnya di sudut ruangan toko itu kau melihat pakaian yang begitu indah dan cantik, salah satu pakaian yang dibatasi stoknya, dan pakaian itu tinggal satu satunya, namun saat kau ingin membelinya uangmu sudah habis untuk pakaian sebelumnya sedangkan aturan toko- barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Bukankah itu membuatmu begitu menyesal ketika melihat itu? Jangan terkecoh dengan keindahan, karena jika kau melihat keindahan utama mereka akan sama."

"Lalu, bagaimana kamu mengatasi keindahan itu?"

"Bagi pelukis sepertiku dunia ini seperti lukisan, sengaja diciptakan dengan bermacam keindahan agar menarik perhatian. Dan aku bertarung dengan naluriku untuk tidak menyukai jenis mawar yang ada didalamnya."

"Lagi-lagi kau menyangkut pautkannya pada seni." Khansa menengok kearah daksa lalu berbalik lagi keposisi awal.

"Sudah kubilang kalau aku seorang pencinta seni. Seni adalah kehidupan bagiku sebagai obat atau penawar segalanya."

TWO DREAM ROPES-||REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang