Bunga Telasih

4 1 0
                                    

"Tolong cepet ke sini, dari tadi Nindi meracau terus manggil-manggil kamu sama Faza."

"Oh, iya, Bu. Saya sama Faza ke sana sekarang."

Sambungan terputus.

"Siapa, Rik?" tanya Faza.

"Ibunya Nindi. Kita harus ke sana sekarang. Ayok!" ucap Rika.

Fajar melajukan mobilnya lalu melesat ke rumah yang dimaksud.

Sesampainya di sana, mereka disambut oleh ibunda Nindi. Tanpa basa-basi lagi, Rika langsung membangunkan Nindi yang sejak tadi meracau. Gadis itu membuka matanya dengan kerudung yang telah basah oleh airmata.

"Rika! Aku tadi mimpi," ucapnya sambil terus terisak.

"Iya, iya. Tarik napas dulu, ya," ucap Rika.

Nindi menarik napas perlahan dan saat tenang ia mulai bercerita.

"Tadi aku mimpi. Serem banget. Aku lupa apa. Yang jelas aku disuruh ke tempat seseorang buat makamin tulangnya gitu. Abis itu aku lihat kaya orang dicekik gitu. Aku takut banget," jelas Nindi.

Teman-temannya langsung saling pandang satu sama lain. Agaknya mereka mengerti apa yang sedang terjadi.

"Udah, ya. Kamu istirahat dulu. Besok kamu ikut kami ke rumah Clarin, ya," ucap Rika.

Nindi hanya mengangguk dan kembali memeluk Rika.

***

Semua sahabatnya telah pulang sedari tadi. Nindi terus melamun memikirkan mimpinya barusan.

"Siapa yang harus dikuburkan sebenarnya?"

Ia terus bermonolog sampai ketukan di jendela membuyarkan semuanya. Gadis itu mengerutkan dahinya sambil mencoba meneliti apa yang barusan mengetuk jendelanya. Perlahan hawa dingin mulai menusuk ke pori-pori. Sekujur tubuh mulai meremang. Secara tiba-tiba, sebuah kepala dengan rambut panjang muncul di hadapannya. Nindi membeku kemudian kembali kehilangan kesadarannya.

Dalam pingsannya, gadis itu seolah mendapat penglihatan yang tidak ia duga sebelumnya. Seorang gadis seusianya mengerang kesakitan sambil terus memegangi lehernya yang tercekik sesuatu. Semakin lama bayangan gadis itu terlihat makin jelas.

Nampak gadis bergaun merah dengan rambut hitam tersiksa dengan tali yang mengikatnya. Tangan dinginnya menarik tangan Nindi yang membuatnya ikut merasakan kesakitan si gadis gaun merah.

Nindi tersentak dari mimpinya sambil memandangi seisi kamar dengan bermandikan peluh.

"Alhamdulillah," ucap Bunda lalu memeluk tubuh putrinya.

Keesokan siangnya, Nindi dan teman-temannya pergi ke rumah Clarin untuk mengurus jenazah Eva.

Sesampainya di sana, mereka menemui Clarin yang terlihat sangat lesu. Ia seperti kehilangan setengah dari daya kehidupannya.

"Tante, kami langsung ke belakang, ya," ucap Fajar.

Beliau mengiyakan. Ketika sampai di tempat kemarin, ujung mata Nindi menangkap sepotong kain lusuh seukuran sapu tangan di dekat jasad Eva. Ia mengambil kain itu, seketika ia mendapati perputaran film di kepalanya.

Nindi seolah dibawa ke masa lalu, di mana masih banyak orang Belanda yang tinggal di daerah perumahan ini. Nampak seorang gadis seusianya yang sedang bermain bersama saudarinya. Gadis bergaun cokelat dan merah itu nampak tidak asing bagi Nindi. Si gadis bergaun cokelat bagaikan putri Belanda yang sangat cantik dengan kulit putihnya. Sementara si gadis bergaun merah nampak anggun bak putri Jawa dengan kulit sawo matang yang eksotis.

ANINDIA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang