13. 1/2 kebenaran

46.7K 5.3K 6K
                                    

Terima kasih untuk 4k komentarnya^^

Kalo kalian antusias kayak gini, kan jadi semangat xixi.




***

"BAY SAKIT BAY!"

"A–H pelan-pelan dong Bay!"

"Bagian dalemnya kekencengan Bay!"

"A–hmpfttttt—"

Baya membekap mulut Anatari, teriakan-teriakan aneh gadis itu sungguh sangat menganggu. "Kita memang sedang berdua Ning, tapi suaramu sangat berisik." ujar Baya.

Anatari mendengus pelan, menatap pergelangan kaki kanannya yang sedang diurut. Lalu kembali cemberut, gara-gara jatuh dari atas pohon, menjadi bengkak. Baya memijat dengan perlahan-lahan, kali ini terasa sedikit memelan tidak seperti tadi.

"Bay sakit bay, udah dong plis udah!" suara Anatari kembali terdengar.

Baya menaruh minyak zaitun diatas nakas, terletak sebelah kanan ranjang tidur mereka. Kemudian menatap kearah Anatari, yang ditatap tentu saja merasa keheranan.

"Kenapa, ada belek ya dimata gue?" ujaran pertanyaan ia lontarkan.

"Mengapa kamu memanjat pohon Ning?"

Menatap kearah lain, Anatari nampak berpikir. Haduh, gara-gara Kunti islami tadi dirinya menjadi ditanya-tanya kan. Padahal niat hati hanya ingin memandangi dari arah kejauhan, malah berujung ketahuan, sungguh memalukan. Tidak mendapatkan jawaban juga, Baya menyentuh punggung tangan Anatari.

"Saya sudah mengajak kamu, apa susahnya untuk ikut. Lihat kaki kamu jadi bengkak, kamu jatuh juga, terus kena omelan Ustadzah Sara. Saya sudah menyadari kehadiran kamu semenjak kamu memanjat, Ning Anata kamu istri saya. Itu artinya, tolong jaga martabat kamu Ning jangan seperti tadi." penuturan Baya.

Tangan Baya ia jauhkan dari punggung tangannya, "Lo pasti malu ya, ya gapapa sih gue kan jadi diri sendiri."  sahut Anatari acuh, sembari menatap kearah Baya.

"Kamu istri seorang Gus, maaf waallahi bukan bermaksud mengakui saya orang yang terhormat. Hanya saja, kamu sejak menginjakan kaki kedalam pesantren ini akan di jadikan contoh oleh para santriwati. Kamu tahu kan, namanya contoh harus benar, baik, dan teratur." penjelasan Baya terdengar begitu hati-hati, bisa saja Anatari tersinggung.

"Oh, maksud lo tuh gue harus kayak Balqis ya?" ucap Anatari dengan senyuman, senyuman terpaksa.

"Gimana sih Balqis, jelasin dong Bay."

"Balqis sangat perhatian terhadap santriwati, beliau semasa hidup seorang ustadzah juga. Guru yang patut dicontoh, suaranya selalu lembut, jarang berteriak-teriak, terlebih Balqis sangat menghargai orang yang lebih tua." entah sadar atau tidak, Baya menjelaskan semuanya secara jelas.

Anatari terkekeh, hatinya terasa agak sesak. Ah tidak, mungkin hanya perasaannya saja.

"Baik banget ya, kalo gak gue tabrak mungkin hidup lo lebih aman. Maaf ya, gue jadi benalu dalam hidup lo Bay." kemudian Anatari menatap kearah lain.

"Maaf, saya tidak sengaja. Ning Anata, saya memang belum sepenuhnya melupakan Balqis. Bukan berarti saya tidak akan melupakannya, saya butuh waktu. Tadi hanya naluri saja..."

Bimalara Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang