12. Abdi Negara dan Kisahnya

29 6 0
                                    

Banjarbaru siang ini terasa begitu gersang. Matahari dengan terik menyorot ke jendela kantor dan tepat mengarah ke kubikel kerja Nadine. Wanita itu menjadi tidak fokus bekerja, padahal sejak tadi tangannya sibuk membuat video-video pemasaran untuk membantu penjualan unit lebih cepat. Bahkan, ponsel di samping laptop sudah selalu siaga jika sewaktu-waktu ada klien yang menelepon dan ingin membeli salah satu unit di Luxury Valley.

“Maaf banget, pendingin udaranya lagi rusak.”

Seorang laki-laki jangkung berkemeja garis-garis mendekat pada kubikel Nadine. Sepertinya dia menangkap gerakan Nadine yang terus mengibas lehernya dengan block note. Sepanjang memori yang Nadine ingat lekat, lelaki itu bernama Martin. Dia merupakan ketua tim pemasaran di Luxury Valley. Nadine memutar kursi dan meletakkan block note miliknya ke sembarang arah.

“Ah, enggak apa. Kalsel juga emang panas, kok.” Mulutnya mengering saking panasnya udara, sial! “Pak Martin ada perlu apa, ya?”

Martin memutar bola mata kesal. “Kan udah aku bilang, panggil Martin aja. Aku enggak setua itu dan enggak usah formal sama aku. Ini udah jam istirahat, kamu enggak mau ke kantin? Yang lain udah pada keluar.”

Sontak Nadine melongok dari balik kubikel, ternyata Martin benar. Kubikel-kubikel lain sudah kosong tak berpenghuni, ekor matanya beralih pada arloji yang melingkar di tangan. “Kan, saya berusaha soapn di tempat baru. Oh, iya, udah jam 12. Pak—maksud aku, kamu mau traktir aku ke kantin?”

Tawa renyah menggelegak, Martin mengusap wajahnya kasar. “Anak baru udah minta traktir. Ya, udah, ayo ke bawah. Aku udah laper.”

Alasan mengapa Nadine berani untuk melontarkan candaan di lingkungan barunya adalah karena nuansa yang ramah dan tidak canggung. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kantor pusat saat dirinya pertama kali mengenal Maria yang humoris dan senang bercanda atau dengan Herta yang keibuan dan peduli dengan semua, hanya saja Linggar yang sedikit membuatnya kaku karena sering memantik emosi.

Di kantor cabang Banjarbaru, Bu Sofia sangat ramah, dia sangat mengayomi anak-anak divisi di bawahnya dan tidak pernah menganggap sebagi karyawan, Bu Sofia selalu memanggil bawahannya dengan sebutan teman-teman dan menghilangkan lini garis kepemimpinan agar tidak terlalu kaku. Pun sama halnya dengan Martin, dia sejak awal selalu menggulirkan obrolan yang membuat Nadine merasa nyaman berada di kantor.

Kantin kantor cabang Banjarbaru berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kantor pusat. Hanya ada beberapa kedai penjual yang menjajakan makanan dan minuman ala western dan Indonesia pada umumnya. Tidak seperti di kantor pusat yang menjual kebab atau nasi kebuli favorit Nadine. Kursi untuk menikmati makanan tak jauh berbeda dengan kantin kantor pusat, setidaknya masih nyaman untuk pinggang Nadine yang semakin menua dan mudah pegal.

“Kamu mau pesen apa, Nad?”

Sejak tadi mata Nadine sibuk meraba kedai yang sekiranya cocok di lidah, tetapi sepertinya dia belum menemukan apa yang dicari. “Emm, samain kaya kamu aja. Aku bingung.”

Martin mengangguk, kemudian berjalan menuju ke salah satu kedai yang menjual burger. Sementara Nadine memilih tempat duduk di dekat kedai yang dituju Martin. Setelah Martin memesan, lelaki itu mengambil posisi di depan Nadine persis. “Katanya kamu jadi kaki tangan kepercayaannya bos besar, ya, Nad?”

“Hah? Kamu tahu dari mana? Hoaks itu, aku cuma kroco.”

Alis mata Martin menukik. “Alaah, kroco tapi berhasil jual rumah tipe 80 ke banyak petinggi penting di Kalsel,” celetuk Martin terkekeh di bangku. “Aku dapet cerita dari Bu Sofia. Kamu orangnya ulet, makanya bisa jadi tangan kanan bos besar. Pasti kamu bisa jual banyak unit.”

Ulu hati Nadine terasa nyeri ketika dipuji demikian, apa benar dia seperti yang dikatakan Martin? Ah, sebenarnya dia biasa saja, toh, bekerja sesuai passion juga membuat semuanya terasa lebih mudah. Nadine ikut tertawa singkat. “Ya ampun, Pak Linggar cerita apa aja, sih, ke Bu Sof?”

Rumah Ini Dijual | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang