9. Tetangga Sebelah Rumah

47 6 0
                                    

Ternyata, ruang tamu rumah ini lumayan luas dan masih terlihat lapang dengan barang-barang Nadine yang sedikit. Padahal, dia sudah menata sofa lavender miliknya beserta perabotan kecil lain seperti vas dan juga taplak agar tampak lebih hidup. Namun, di bagian belakang, tepatnya menuju kamar mandi, masih ada sedikit ruang untuk digunakan sebagai dapur. Sepertinya, Nadine akan menerapkan konsep open space untuk tampilan tata ruang yang dia tinggali.

Jadi nantinya sisa ruang tamu yang menuju ke kamar mandi akan dipasang dapur sederhana dengan konter tiga petak. Meskipun sebenarnya, di bagian belakang ada tempat untuk calon dapur, tetapi Nadine belum bisa membangun dapur karena permasalahan peraturan yang dijelaskan orang makelar tadi. Tidak boleh ada renovasi atau pembangunan di rumah subsidi selama lima tahun atau akan dikenakan sanksi. Maka dari itu, dia memutar otak untuk memasang dapur dengan konsep open space yang berhadapan dengan ruang tamu.

Rumah ini juga memiliki dua buah kamar yang besar. Pastinya sangat cocok untuk keluarga kecil dengan satu orang anak yang sedang merintis karir dan membutuhkan hunian murah yang representatif. Namun, karena Nadine tinggal sendiri, kamar sebelah nantinya akan digunakan sebagai tempat kerja sekaligus penyimpanan barang-barang yang tidak terpakai.

Seperti sekarang, wanita itu sedang menata dipan yang akan dipasang untuk tempat tidurnya. Tadi siang, sopir pengangkut barang sudah membantu Nadine memasang dipan, sehingga dia hanya meletakkan kasur busanya saja. Kasur busa yang dia beli di toko dekat Ramayana Antasari sengaja dibeli agar dia tidak memakai kasur kapuk yang terkadang membuat punggungnya sakit, tetapi karena ukurannya yang cukup besar, Nadine sedikit kewalahan mengangkat kasur tersebut.

“Kalau kek gini namanya pendekar banget, sih! Apa-apa dilakuin sendiri!” keluh Nadine sembari menarik kasur busanya ke dalam kamar.

Tangannya mulai terasa lelah, otot di sekujur lengan seperti terpaut menjadi satu dan menimbulkan rasa pegal luar biasa. Tentu saja demikian, sejak tadi dia terus mengangkat benda-benda berat dan menggotongnya ke berbagai tempat di seluruh penjuru rumah. Entah sofa, televisi, hingga kursi dapur yang akan digunakan sebagai tempat makan nanti.

Karena lelah, Nadine mencoba mengangkat kasur busa tersebut dengan sisa tenaga yang ada agar lebih cepat. Dengan kaki yang gemetar dan tangan yang sudah lunglai, wanita itu mencoba membawa ke dalam kamar tidur. Namun, disaat yang bersamaan, kaki Nadine menginjak ekor Momon yang sedang bersantai di antara kusen pintu kamar. Sontak, Momon menjerit dan membuat Nadine terkejut, keseimbangannya hilang saat Momon berlari dan memanjat kaki Nadine yang berpakaian jins.

“MONNNNN!!! JANGANNNN!!”

Tubuh Nadine gontai, kakinya kehilangan gravitasi dan terhuyung ke belakang dengan kasur busa yang sudah melayang dari tangan. Nadine jatuh terduduk diikuti kasur busa yang menimpa tubuhnya. “AAAAAAA!!!!” jeritan Nadine membuat Momon berlari dan terhindar dari kecelakaan tersebut. Kini, makhluk berbulu putih cokelat itu sudah asyik duduk di atas kasur sambil menjilati tubuhnya dengan santai. Sementara tuannya tergeletak di lantai keramik dingin dengan pantat yang sakit. Nadine mengerang dan mengenyahkan kasur busa yang digunakan Momon untuk bersantai.

“Aduhhh, Momon! Kamu ngapain, sih, tiduran di situ!” pekik Nadine menatap Momon yang tidak menggubris, kucing kampung peranakan Persia itu hanya menoleh, kemudian kembali asyik menjilati sekujur bulunya.

Di saat Nadine sibuk mengusap pantatnya yang sakit, dia melihat ada seorang laki-laki masuk ke dalam rumahnya dengan tergopoh-gopoh. Nadine membeliak saat orang asing itu menyelonong mendekatinya. “Heh! Lo mau ngapain! Keluarr!! Tolonggg!!!”

Si lelaki yang baru masuk keheranan dan mengangkat kedua tangannya. “Eh! Ulun kada5 mau mencuri di rumah pian!”

“Terus lo ngapain masuk ke rumah gue tiba-tiba, hah?”

Lelaki itu mengenyahkan kasur busa yang menimpa Nadine, kemudian mengulurkan tangan. “Tadi ulun dengar teriakan dari rumah pian.”

Nadine menyipitkan matanya, mengamati dengan saksama setiap inci perawakan lelaki itu. Badannya tinggi, besar, dengan kaos katun berwarna putih yang membalut tubuh. Terdapat kalung silver yang menggantung di leher. Wajahnya ditumbuhi cambang dan kumis tipis. Sepertinya dia bukan maling, maling tidak ada yang memakai pakaian rapi seperti ini. Disambarnya tangan lelaki tersebut kemudian Nadine bangkit dengan perlahan. “Makasih,” ucap Nadine pelan. “Maaf udah ngira Abangnya maling. Soalnya saya enggak nutup pintu depan.”

Dia mengangguk. “Kada apa. Ulun cuma kaget denger teriakan, soalnya tembok rumah kita deket. Takutnya ada apa-apa,” jelasnya singkat. “Pian enggak kenapa-kenapa, kan?”

“Um, enggak apa. Tadi ada kejadian sedikit. Tapi saya aman, kok, enggak kenapa-kenapa.”

“Masih bisa jalan, kan?”

Nadine mengangguk. “Masih, kok, cuma ini masih sakit.” Dia menepuk pantatnya yang masih pegal akibat jatuh terduduk.

“Kalau gitu, pian duduk dulu. Mau bawa kasur ini ke dalam kamar, kan? Biar ulun yang bawakan.” Dia beranjak dari posisinya, mengangkat kasur busa berwarna ungu tersebut dan membawanya masuk ke dalam kamar.

Nadine jadi tidak merasa enak dengan lelaki itu, tadi dia sudah menuduh yang tidak-tidak. Sekarang, dia yang membantu Nadine membawa kasur ke dalam. Padahal, dia sendiri bisa melakukannya, tidak perlu bantuan orang lain apalagi tetangga yang belum pernah dia temui sebelumnya. Si lelaki berkaos putih keluar, tersenyum pada Nadine.

“Aduh, maaf, ya, Bang. Saya jadi ngerepotin Abangnya. Padahal tadi saya udah nuduh Abang maling,” ucap Nadine dengan perasaan bersalah. “Soalnya penampilan Abang mirip preman.” Tersadar dengan omongannya yang melantur, Nadine membekap mulut erat-erat. “Eh, aduh, anu … soalnya Abang pakai kalung terus berewokan.”

Lelaki itu tertawa kikuk, menggaruk tengkuknya. “Kada apa, ulun juga minta maaf tadi sembarangan masuk, bikin kaget. Pian baru pindah ke Violet Garden?”

“Iya, Bang. Saya baru aja pindah tadi siang. Makanya ini masih beres-beres rumah.”

“Pindah dari mana?”

“Saya dari Banjarmasin.”

Dia mengangguk, kemudian berhenti saat hidungnya mencium bau sangit yang mencolok. “Waduh! Kue ulun! Maaf, ya, ulun harus balik, lupa matiin kompor. Kalau pian butuh apa-apa, bisa ke sebelah, rumah ulun di unit tujuh. Ulun permisi!” Dia berbalik badan, kemudian berlari kembali ke rumahnya.

“Eh, Bang! Aduh gue belum nawarin minum lagi! Mana gue enggak tahu namanya.” Namun, lelaki yang menolong Nadine tadi sudah melesat hilang seperti diterpa angin. “Ya, udah, deh. Lagian dia tinggal di sebelah, nanti kalau ada waktu gue ngirim makanan ke sana.”

Momon mengeong pada Nadine, wajahnya menatap melas dengan pupil kuning yang membesar. “Apa! Tadi kamu bikin aku jatuh! Sekarang mau minta makan?” gertak Nadine pada Momon yang kini sudah meringkuk di lantai, kucing itu kemudian menggeliat dan meregangkan tubuhnya, memperlihatkan perut yang mengundang Nadine untuk mengelusnya.

Apabila Momon sudah menggeliat, maka emosi yang meledak di diri Nadine seolah luluh layaknya es di kutub yang mencair. “Hiihhh, gimana aku bisa marah.” Tangannya terulur untuk mengusap lembut perut Momon, kucing itu kembali mengeong dan sekarang mendengkur di pangkuan Nadine.

“Ya, udah, ayo makan!”

***

5 Tidak

Rumah Ini Dijual | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang