5. Iklan Media Sosial

50 7 0
                                    

Sudah hampir seminggu berjalan, Nadine belum juga mendapat panggilan dari calon klien potensial yang berkenan membeli salah satu unit di Luxury Valley. Semenjak pulang dari Banjarbaru, Nadine benar-benar diberi amanat berat untuk menawarkan unit kecil dengan berapa petak yang harganya selangit. Padahal, Nadine sudah bekerja sama dengan pihak divisi marketing untuk membuat iklan yang masif agar dilihat banyak orang. Namun, hasilnya tetap nihil.

Nadine ingat betul, jika bukan karena tawaran Linggar yang menggiurkan waktu itu, dia tidak akan berani memegang Luxury Valley. Bahkan, sejak awal dia sudah pesimis dan kurang yakin akan bisa mencapai target bulanan yang sudah ditentukan. Keraguan tersebut akhirnya berbuah pahit dengan tidak adanya orang yang tertarik untuk masuk ke dalam dan menghuni salah satu unitnya.

***

“Nadine, kamu siap, ya, nawarin rumah-rumah ini ke klien?”

Linggar membuka suara di tengah perjalanan yang hening dan hanya ditemani oleh suara alunan musik Koes Plus. Nadine yang sedang sibuk berkutat dengan pikirannya tersentak dan menatap bosnya itu.

“Nanti akan saya coba untuk tawarkan, Pak.”

Lelaki itu berdeham, memandang kaca spion tengah sambil memperbaiki dasinya yang sedikit berantakan. “Kalau kamu berhasil menjual unit sesuai target bulanan, sepuluh rumah dalam tiga bulan, kamu akan saya kasih bonus besar.”

Mendengar kata bonus, telinga Nadine langsung membesar seperti telinga gajah. Siapa yang tidak tergiur dengan kata bonus di setiap pekerjaan yang harus diselesaikan? Memang pada dasarnya segala pekerjaan pasti ada risikonya, tetapi ini tantangan yang cukup besar untuk penjualan dan pemasaran rumah di antah berantah.

“B-bonus, Pak?”

“Iya, tapi kalau kamu berhasil mencapai target. Perumahan ini saya buat khusus untuk orang-orang di Banjarbaru yang membutuhkan rumah minimalis dengan harga yang murah.”

***

“Coba lo bayangin, Si. Rumah subsidi tipe 36, dapur belum ada, enggak ada taman atau carport, harga dibuka mulai 200 juta. Apa enggak gila?”

Timbul keheranan juga di hati Sisi, sama seperti temannya itu. “Waduh, mahal banget! Zaman segini matok harga setinggi Monas, tapi kualitas rumahnya setara pinggiran Ciliwung.” Nadine memutar-mutar sedotan es tehnya, sekadar mengaduk gula yang belum larut, kemudian menyesapnya hingga setengah tandas seraya mendengar cerocosan Sisi.

“Terus lo enggak coba kasih opsi penawaran lain buat Pak Bos?” tanya Sisi sambil menopang dagu, “yaa, siapa tahu dia berubah pikiran gitu?”

Nadine berdecak, kemudian tertawa sinis. “Udah gue lakuin, Si! Tapi namanya si kuntet, batunya minta ampun. Itu kepala kalau dibuat mukul paku bisa kali saking kerasnya,” ujar wanita berambut sepunggung itu, gusar, tangan kanannya memutar mie kuning di dalam bakso yang sudah mengembang.

“Lagian, lo juga udah jadi kaki tangan kepercayaannya Pak Bos, mau enggak mau itu jadi risiko,” timpal Sisi kembali.

Helaan napas berat meluncur dari hidung Nadine. Wanita itu tak lagi bersuara, justru memikirkan nasib pekerjaannya yang terancam karena Luxury Valley. Dia harus sesegera mungkin mencari cara untuk menawarkan unit pada seorang klien agar target penjualan tercapai dan bonus dari Linggar bisa turun cepat.

“Saranin gue, dong, Si, harus gimana?” papar Nadine sedikit resah. “Kalau gue berhasil, nanti lo dapet cipratan bonus, deh!”

“Gue belum bisa kasih saran. Paling enggak, lo doa aja yang banyak. Kalau bisa ruqyah biar muka lo lebih cerah, orang enggak takut mau beli.”

Rumah Ini Dijual | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang