apanya yang selesai?

436 58 3
                                    

Pelan pelan kita para penumpang, mereka akan happy pada waktunya.

Btw sorry ya gabisa sering update soalnya aku udah kerja jadi kadang capek gitu mau nulis abis kerja:')

Happy reading. Walau aku ga yakin kalian bakal happy pas baca ini.




Ricky cuma berani melihat dari jauh saat dokter mengecek dan mengobati luka dikaki Jiwa. Sesekali Jiwa meringis menahan perih.

"Makanya mas jangan banyak tingkah kalo lukanya belum kering, kasian pacarnya tuh mukanya panik banget" dokter itu menunjuk Ricky.

Sementara Ricky malah berusaha gak terlihat salah tingkah.

Setelah selesai mengobati, dokter itu pergi. Meninggalkan Ricky dan Jiwa berdua. Gak berdua banget sih, kan di UGD.

"Pulang aja Rick, aku udah telpon bunda minta jemput" suruh Jiwa.

Ricky diam beberapa detik sebelum menjawab, "Gue anter aja gimana?"

"Gausah, gapapa kok." Tolak Jiwa.

"Oke, kalo gitu gue pulang dulu ya."

"Iya."

Ricky berbalik. Tapi sebelum dia berjalan jauh Jiwa sudah memanggilnya lagi.

"Aku boleh tanya sesuatu?" Tanya Jiwa.

Ricky mengangguk. Tapi hatinya memohon supaya Jiwa gak bertanya hal yang dia pikirkan.

"Aku salah apa?"

Tepat sasaran. Pertanyaan yang ingin Ricky hindari muncul.

Dia harus menjawab apa?

Gak mungkin kan dia bilang kalau dia menjauhi Jiwa karena takut? Takut dengan masa lalunya sendiri.

Jadi akhirnya Ricky cuma menjawab, "Gue yang salah mas."

"Nggak. Bohong." Jiwa menggeleng, "tolong jawab aku, aku salah apa?"

"Aku terlalu sibuk kerja, sampe ga ada waktu buat kamu?"

"Apa karena aku gak punya mobil buat antar jemput kamu?"

"Atau kamu malu pacaran sama aku?"

Bohong kalau hati Ricky gak sakit mendengar pertanyaan Jiwa. Gimana bisa Jiwa malah menyalahkan dirinya sendiri disaat yang salah adalah Ricky?

"Nggak mas. Gue yang salah." Jawab Ricky lagi.

Jiwa diam beberapa saat sebelum mengajukan pertanyaan lagi, "Jadi kita udah selesai?" tanyanya dengan berat hati.

Jelas berat bagi Ricky untuk menjawab itu, tapi dia harus.

"Iya, kita udah selesai."

Tanpa berbalik lagi, Ricky berjalan keluar UGD. Bersamaan dengan bunda Jiwa yang masuk bersama Yuan.

________

Ricky memasuki rumahnya yang seperti biasa, sepi. Hanya ada suara dari jam dinding antik milik papinya. Kedua orang tuanya pasti sedang dalam perjalanan bisnis. Ricky meringkuk di sofa ruang tamu, merasakan hawa di sekelilingnya.

Dingin. Perasaannya beberapa tahun yang lalu kembali lagi. Perasaan takut dan inferiority complexnya mulai menguasai diri Ricky lagi.

Dia memandang pantulan dirinya dari kaca lemari hiasan. Fisik Ricky yang sekarang jelas berbeda dengan yang dulu. Orang bahkan mungkin gak akan mengenalinya. Tapi ada satu hal yang sama, jiwa Ricky masih sama. Dia masih Ricky yang menyukai Jiwa, masih Ricky yang merasa takut dengan penampilannya sampai harus selalu berdandan bahkan dirumahnya sendiri.

Hanya fisiknya yang berubah, itu saja. Secara keseluruhan, dia tetap Ricky yang sama.

"Semua udah selesai, Rick."

________

"Apanya yang selesai?!"

"Ya hubungan gue sama Ricky." Jawab Jiwa santai.

Tangan cowok itu sibuk memotong sawi untuk mie pesanan katering.

"Terus?"

"Yaudah"

"Apanya sih anjir?! Aneh banget."

Handi jadi kesal sendiri. Perasaan waktu itu Jiwa sesenang itu bisa jalan dengan Ricky, kenapa sekarang sangat amat pasrah.

"Ricky mau kita putus, Di. Jadi yaudah, kalo dia maunya gitu."

Handi gak habis pikir dengan sahabatnya ini. Bisa bisanya dia gak masalah diperlakukan begitu.

"Kalo dia maunya gitu, gue bisa apa?" Ucap Jiwa seolah tau pikiran Handi.

"Ya apa kek tanya alasannya."

"Dia gamau bilang"

"Terus lo terima aja?"

Jiwa mengangguk, "Toh dari awal cuma gue yang jatuh cinta kan? Gue bahkan gatau apa Ricky bener bener suka sama gue, atau kasihan sama gue."

Ingin rasanya Handi memukul kepala Jiwa, padahal sudah jelas dari tatapannya saja Handi tau kalau Ricky tuh cinta ke Jiwa. Tapi mau bagaimana lagi, mereka sudah putus.

________

"Gue gapapa"

Gio berdecak, "nggak. Lo tuh kenapa napa."

Sekarang Gio sedang berdiri disamping ranjang Ricky, bersiap menyeret temannya yang sudah dua hari bolos kuliah dan gak makan apa apa itu. Kata bibinya.

"Makan gak lo? Gue seret ya?" Ancam Gio.

Tapi Ricky masih ga bergerak. Malah makin merapatkan selimut yang menutupi badannya.

"YA TUHAN BANGUN LAH RICK!! Galauo jelek bener sumpah, bangun!! Jangan nyusahin gue!!"

Kesabaran Gio habis, dia menarik paksa Ricky turun dari kasur.

"Udah cukup si Cello berduka, Hanif sama Jero gatau kemana, sekarang elo ikut ikutan sakit?" Omel Gio.

Dia memaksa Ricky duduk dimeja makan.

Melihat tingkah Gio sedikit menghibur Ricky, jarang dia lihat temannya itu marah marah. Jadi dia menyuapkan bubur yang dibuat bibinya. Menghargai effort Gio.

"Ga ada rasanya" keluh Ricky.

"Covid ya lo?"

"Ngga bego!!" Ricky menumpukan kedua tangannya di sofa, "gue pengen makanan katering waktu itu."

"Hah?"

"Nggak. Bukan apa apa."

Ricky melanjutkan makan buburnya. Memaksa makan sampai makanan itu habis.

"Gue gatau diri banget ya" gumam Ricky.

"Hah?"

"Dari awal cuma gue yang jatuh cinta ke mas Jiwa, tapi gue berani ngelunjak setelah tau mas Jiwa tertarik sama gue" Ricky mengaduk aduk buburnya, "Padahal gue tau gue ga pantes buat dia."

Gio diam. Padahal menurut Gio, siapapun juga pasti bisa melihat kalau Jiwa benar benar tertarik dan suka ke Ricky. Bisa bisanya temannya berpikir begitu.

"Bisa gak sih lo berhenti ngerendahin diri lo sendiri, Ricky Shepano Hartanto!!" balas Gio dengan nada lelah, "Apa sih yang bikin lo mikir segitunya tentang diri lo?"

Ricky menghela napas, "banyak, Gi."


Ricky is so me lol.

Me+my inferiority complex= Ricky.

See you soon~

2023.07.06

Hi, My First.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang