Bagian 1: Saranku

2.9K 162 4
                                    

Menyebalkan ...

Menyebalkan ...

Menyebalkan! Menyebalkan! MENYEBALKAN!!!

"KAHI!"

"Y-ya, Pak?"

"Kau paham atau tidak?!"

"O-oh. I-iya, Pak. Saya paham."

"Keluarlah sekarang! Melihat wajahmu benar-benar membuatku ingin muntah!"

Lalu apa?

Kau mau aku mengganti wajahku? Begitu?

Dasar tua bangka sialan! Mati saja kau!

"KENAPA DIAM SAJA?! CEPAT KELUAR!"

"BA-BAIK, PAK!"

Pak Marcell sialan!

Kenapa dia selalu marah-marah padaku?

Ini kan bukan salahhku jika tugas kemarin tidak sesuai ekspektasi orang pusat. Salah dia sendiri karena memaksaku untuk mengerjakan bagian yang seharusnya dikerjakan orang lain.

Dasar pecundang!

"Kahi."

Aca? Benar, itu Aca.
Melihat temanku itu datang mendekat, aku buru-buru menghapus jejak kemarahan di wajahku.

"Eh? Aca? Sedang apa di sini, Ca? Kamu tidak makan siang dengan anak-anak?"

"Aku khawatir sama kamu. Makanya aku ikutin kamu. "

Aca yang baik hati. Aca yang cantik dan tidak pernah memandang strata orang lain.

Diperhatikan sedemikian rupa oleh malaikat bumi, mana mungkin aku tak suka.

Bagiku, yang merupakan mahluk terjelek di semesta ini, memiliki teman seperti Aca adalah sebuah kehormatan.

"Kamu habis dimarahi Pak Marcell lagi, ya?"

"Iya."

"Ckk! Orang itu. Wajahnya saja yang tampan, tapi hatinya busuk?"

"CA! Kita ini masih di kantor!"

"Tenang saja. Memangnya ada anak kantor yang akan datang ke sini?"

"Ah, haha ... Benar juga."

Ucapan Aca memang benar. Di antara semua orang di kantor ini, mungkin hanya aku saja yang sudi untuk datang ke belakang parkiran. Aku tidak melakukan hal aneh, karena aku memang hanya makan saja di sini.

Ini bukan tanpa alasan.

Aku memang terbiasa makan di tempat ini, karena aku tidak nyaman dengan pandangan orang lain.

Wajahku ini sangat jelek. Mereka sering mengataiku monster karena aku memiliki luka bakar di sisi kiri wajahku. Meskipun aku berusaha keras menutupinya dengan rambut panjang, tapi itu tetap tidak berguna.

Lukanya terlalu luas untuk ditutupi.

"KAHI!"

"E-eh? A-apa, Ca?"

"Kamu dengar aku bicara tidak?"

"Aduh, maaf Ca. Aku tadi sedikit melamun. Memangnya kamu bilang apa?"

"Aku tadi mengajak kamu makan di kantin."

"Eum ... Maaf, Ca. Tapi aku-"

"Ya sudah kalau tidak mau. Aku tidak akan memaksa."

"Maaf ya, Ca."

"Santai saja. Kalau begitu aku makan siang dulu, ya. Takut waktunya habis."

Aku juga mau. Aku benar-benar ingin pergi bersama Aca dan makan di kantin kantor seperti pegawai lainnya.

Hello!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang