"Sebenarnya kamu ini siapa?"
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tawa Mars pecah. Suaranya bahkan terdengar sangat menggelegar.
Kahi kebingungan dengan tingkah absurd pria di hadapannya ini. Dia tidak mengerti kenapa Mars justru terlihat sangat bahagia, padahal posisinya saat ini, Kahi sedang mencurigainya.
Setelah lama tertawa, Mars kemudian berjalan mendekati Kahi untuk menjumput sejuntai rambutnya. Sambil memainkan surai gadis itu, Mars juga menatap lekat Kahi hingga membuatnya salah tingkah.
"Kahi, aku tidak paham kenapa kamu tiba-tiba saja menunjukkan pesan dariku, dan bertanya siapa aku."
Kahi cukup terkejut karena kecurigaannya pada Mars tidak terbukti benar. Dia menjadi gugup karena merasa telah tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak baik.
"Tapi Kahi ... Jelas sekali jika kamu ini sedang memikirkan sesuatu yang tidak-tidak soal aku. Iya, kan?"
Iya, benar. Oleh sebab itulah Kahi jadi merasa semakin gugup dan tidak berani menatap ke arah Mars. Padahal kecurigaannya terhadap pria itu, sebenarnya memiliki alasan yang logis, dan dapat dipahami.
"Sudahlah. Lupakan saja. Ayo aku antar kamu pulang." Ajak Mars seraya menggenggam tangan Kahi. Dia sudah tidak betah untuk segera membawa gadis itu ke tempat yang aman.
"Eh tunggu," Kahi menahan langkah kakinya. Dia tidak membiarkan genggaman tangan Mars untuk menjadi komandonya, "bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini? Mars, kamu ... Tidak menyadapku lagi, bukan?" Pungkas Kahi terhadap rasa keingintahuannya.
Melihat bagaimana wanita itu masih saja mencurigainya, Mars jadi tidak bisa menahan rasa gemasnya. Sambil mengacak pelan puncak kepala Kahi, dia menjawab, "kan kamu sendiri yang bilang mau wawancara di tempat ini."
"Tapi aku kan tidak bilang jika masih ada di sini."
"Aku hanya menebak saja, Kahi. Karena kamu tidak ada di indekos, aku berpikir bahwa kamu mungkin saja masih ada di sekitaran sini."
"Ah ... Maaf. Aku terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini."
"Tidak masalah. Oh ya, bagaimana kalau kita mampir ke swalayan dulu. Bahan-bahan dapurmu sudah habis, kan?"
"Boleh."
Merasa tidak ada yang salah, Kahi pun menyetujui ajakan tersebut. Mereka berdua akhirnya kembali berjalan sambil berbincang ringan.
Namun baru setengah perjalanan menuju halte bus, Kahi kembali menyadari, jika dia tidak pernah mengatakan apapun soal bahan dapur yang habis.
Itu membuatnya lagi-lagi menaruh curiga kepada Mars.
Merasakan ada kegelisahan yang berasal dari sisinya, Mars kemudian menoleh hanya untuk mendapati betapa tegangnya wajah Kahi.
"Kamu masih minum obat dari psikiater, Kahi?"
"Eh? I-iya, masih. Kenapa?"
"Wajahmu terlihat tegang."
"Ha? Oh ... Haha ... Masa?"
Jika saja suasana di jalanan tidak sepi, Kahi yakin seratus persen jika dia pasti berani untuk mengemukakan kecurigaannya kembali terhadap Mars.
Namun sayangnya, kondisi jalanan yang mereka lewati ini sangat sepi. Itu membuat Kahi tidak berani untuk bertindak gegabah.
"Kamu ... Tidak sedang mencurigai soal bahan dapur, kan?"
"Apa?"
Bagaimana dia bisa tahu? Pikir Kahi ketakutan setengah mati. Dia merasa mulai tak tenang. Bahkan tangannya sendiri, jadi berkeringat deras karena tidak nyaman berada dalam genggaman Mars.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello!
Misteri / ThrillerBerawal dari perasaan frustasi Kahi di kantornya, perempuan itu memutuskan untuk menginstall aplikasi chatting berbasis AI. Melalui aplikasi tersebut, Kahi meluapkan emosi yang tidak bisa ia tunjukkan kepada siapa pun. Tapi semakin lama, aplikasi i...