Chapter II

2.9K 258 15
                                    

Freen's Point Of View (POV)

"Hmm.. harum." Hidungku menangkap dengan cepat aroma pancake sedap dari dapur, tidak salah lagi seseorang sedang masak di dapurku, mungkin Ibu. Perutku berbunyi, tetapi badanku masih ingin tidur, sekarang masih sangat pagi untuk bersiap ke kantor. Mataku perlahan terlelap lagi melanjutkan tidur, berfikir untuk bangun sesuai alarm saja. Aku pun menyambung gelap yang memberi lelap yang nyenyak dan nyaman. Tapi, kepalaku masih nyeri ulah Becca yang menyambutku pulang liburan dengan centong nasi kayu.

Kemarin sore aku check out dari penginapan Villa San Ka San, membungkus beberapa makanan sebagai buah tangan untuk sahabatku, Becca. Aku tidak tau apa responnya nanti, karena liburan kali ini adalah pertama kali dia gagal mengekori perjalananku. Jadi, sebagai umpan pujukan aku membeli mie yang bisa disajikan di rumah dan kue red velvet. Perjalan tiga jam ditempuh berteman lagu-lagu K-pop yang kebanyakan aku tidak tau artinya, namun iramanya yang menyegarkan membuat mata ini tetap fresh, jauh dari kantuk. Walaupun begitu, aku tetap waspada menyetir hingga sampai di depan rumah. Keselamatan diri sangat diutamakan.

Aku meresek kantong jaketku, mencari kunci rumah. Tapi aku mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar dari dalam rumahku menuju pintu, dan pintu pun terbuka. Dan...

PLAK!

Apa yang terjadi? Kataku dalam hati, sekejap kepalaku terasa nyut-nyutan.

"Aduh! Sakit tau!" Teriakku. Becca memukul kepalaku dengan centong nasi.

What? Centong nasi?

"Bec, kenapa kamu di sini?" Aku merasa bingung sekaligus tidak percaya pada perempuan di depanku. Sekarang sudah menjelang malam, dan dia di dalam rumahku? Maksudku, bagaimana bisa dia masuk ke dalam rumahku? Padahal jendela aku kunci semua.

"Kamu..!!" Telunjuknya mengarah ke wajahku, dengan tatapan marah dan muka yang benar-benar merah, dia berhenti bicara dan hanya melihatku beberapa detik.

Dia berbalik dengan cepat, dan meninggalkan aku yang sedang mengelus kepala yang hampir bengkak, sungguh apa salahku? Gumamku dalam hati.

/Celentang celentung/ "Kegaduhan apalagi ini?" Aku memasuki rumah dan menutup pintu, lalu segera menyusul Becca yang sekarang berada di dapur.

"Hei, sudah malam. Pulanglah." Pintaku. Aku berdiri di samping meja makan, melihat dia rusuh menggunakan alat masak, dia sedang memecahkan beberapa telur.

"Tidak, aku lapar." Jawabnya ketus.

Aku menghela nafas, dan kembali keluar menuju mobil, mengambil tas dan makanan yang aku pesan itu. Bergegas aku kembali ke dapur, "Ini, ambillah. Kamu bisa memanaskannya di microwave. Makanlah sebelum pulang, aku langsung ke kamar ya, capek."

Apakah aku harus mengoles salap, sepertinya benjol? Aku merasakan sedikit bengkak di kepalaku, apes.

Dia tidak menjawab perkataanku, tapi aku tau dia akan pulang. Aku yakin dia masuk lewat jendela lagi. Dasar penyusup.

Aku masih bertanya-tanya mengapa dia harus tinggal di samping rumahku, entah mengapa dia mau menyewa jauh dari tempat kantornya bekerja. Beberapa waktu lalu aku tanya, dia menjawab karena orang tuanya menyarankan untuk berada dekat denganku, biar aku bisa menjaganya.

Aku memaklumi jika orang tuanya berpikir seperti itu, karena kami berdua tumbuh dari kecil seperti layaknya saudara, dan hidup di rantauan seperti ini mana ada orang tua yang mau membiarkan anak gadisnya hidup tanpa pengawasan. Mungkin tugas pengawasan itu dipercayai kepadaku, sahabatnya dari bayi. Walaupun dulu aku tidak pernah dilihat sebagai seorang yang dipercaya, setidaknya hanya akulah yang menjadi kerabat dekat Becca di kota ini, saudara angkat kah?

GL - Warm Heart - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang