.
.
sebuah kesinambungan dari TANGERINE
.
.
.
"Ke Singapura?"
"Iya, kan orang tua beliau ndek sana. Yang di sini cuma kakek-nenek dari pihak Ibu. Lek ndak salah se, soalnya Koh Yohanes jarang cerita soal keluarganya."
"Bang Jay kok tidak tanya?" Jimin menggigit pinggiran roti, ogah-ogahan. Selera makannya mendadak lenyap mendengar bila sahabat kakaknya itu hendak bertolak ke negeri singa pagi ini. Baru tiga hari lalu Jimin berkesempatan mendengar suara yang bersangkutan lewat panggilan telepon, sekarang posisinya seperti baru saja dijatuhkan ke bumi usai diangkat tinggi-tinggi.
"Lah, buat apa tanya-tanya masalah pribadi? Ndak sopan."
"Tapi aku perlu tahu sebenarnya domisili prioritas Koh Yoongi itu di mana. Kuliahku masih ada sekitar dua semester, masa mendadak mau diboyong ke luar negeri?"
Hoseok nyengir kuda mendengar ajuan terakhir, rotinya ditaruh piring selagi memajukan kepala sambil terkekeh, asli meliuk ambigu seperti ulat bulu.
"Kamu ngebet dinikahi sama Koh Yohanes ya, Dek?"
"BUKAN GITU, BANG!" bantah Jimin sebal kendati cuping telinganya mengacung merah, "Aku cuma ingin memastikan masa depan dan segala kemungkinannya. Semisal pekerjaan Koh Yoongi memaksa beliau menetap di sana, minimal kami harus mendiskusikan jalan tengah agar tak ada yang merasa diberatkan atau terpaksa."
"Duileeeee, adik kesayangan Abang kerasukan apa, nih? Kok pemikirannya sampai sejauh ini?" Hoseok tertawa kecil, lantas mengunyah segigit rotinya seraya tetap memandang Jimin. Diamatinya sejenak air muka yang terpias serius, kemudian menjulurkan tangan untuk menepuk pelan pipi Jimin tanpa maksud meremehkan, "Kalau memang maunya begitu, berarti sudah bukan ranah Abang untuk ikut campur. Toh Abang yakin kamu bukan orang yang egois dan hobi menuntut ini itu tanpa pertimbangan. Koh Yohanes bilang ke Abang kalau kamu orangnya nrimo. Dikasih apa saja mau, ndak seenaknya sendiri. Mana super sopan lagi."
Bola mata Jimin langsung berbinar, cerah, "Masa sih, Bang?"
"Iya."
"Serius?"
"Koh Yohanes ndak ngomong ke kamu?"
"Enggak."
Hoseok terbahak kasihan sembari kembali menepuk pipi adiknya, menyuruh pemuda itu lekas bersiap serta menyeret ransel kerjanya sendiri berikut kunci sepeda motor. Ditunggunya hingga ojol pesanan Jimin menjemput tepat di depan rumah, lantas saling melambai untuk pergi ke arah berlawanan. Kerut bingung menghias kening si bungsu sepanjang perjalanan, masih bertanya-tanya mengapa Yoongi tak menelepon atau mengajak Jimin melepas keberangkatannya ke bandara. Sekadar memberitahu jadwal pesawat pun tak apa, setidaknya ada setitik keistimewaan dan anggapan bahwa Jimin cukup penting untuk dikabari mengenai kegiatan Yoongi, sekarang.
Tapi ya, sudahlah. Jimin harus legowo karena bagaimanapun, frekuensi pertemuan mereka masih bisa dihitung memakai sebelah tangan. Baru tiga kali, malah. Usai menjelajah Tunjungan secara tak sengaja, beberapa hari berikutnya pria itu kembali singgah untuk memberi salam pada orang tua Jimin—yang sayangnya, belum dapat terwujud sempurna sebab sang Ayah sedang ditugaskan ke luar kota. Terakhir, mereka sepakat makan siang di Town Square bersama Hoseok sebagai titik perkenalan resmi. Dari situ pula Jimin mengetahui bila pria tersebut merupakan anak sulung dari tiga bersaudara, walau tidak ada informasi lanjutan apakah kedua adiknya telah berkeluarga atau masih mengenyam pendidikan seperti Jimin.
YOU ARE READING
MEILI | BEAUTIFUL (YoonMin)
Fanfiction[BTS - YoonMin/SugaMin] Segalanya yang ada pada Jimin itu cantik, termasuk sepasang mata yang membius Yoongi hingga ke dalam sukma. Tapi jika diminta bercerita, Yoongi akan berpikir dua kali karena buku tulis setebal apapun tak akan cukup menampung...