2

20 2 0
                                    

Cowok jangkung dengan seragam yang masih melekat rapi di tubuh tegapnya itu memasuki rumah yang salah satu sisi pintunya sudah terbuka.

Netranya tertuju pada sosok yang telah merawatnya seorang diri dengan penuh kasih sayang tengah menyeduh kopi di meja pantry pojok ruangan yang bersebelahan dengan ruang tamu.

Tapi ada yang aneh, dirinya tidak melihat sosok yang sedari tadi mengganggu pikirannya. Biasanya jika ia pulang sekolah, maka akan ada sesuatu yang terjadi.

"Sore, Pa."

Sapaan itu terdengar, membuat sosok yang sebelumnya sibuk mengaduk minumannya pun menoleh, mendapati putera sematawayangnya dengan mimik lempeng ganteng tengah memasuki rumah disusul dengan pemuda lain di belakangnya.

"Sore, anak-anakku," respon pria dengan kisaran umur 40an itu. Kemudian atensinya beralih pada pemuda yang berdiri di samping puteranya. Beliau berjalan sambil menyesap kopi, lalu menaruh cangkir itu di meja bundar dekat jendela, tak jauh dari meja pantry tadi.

"Hehe, sore, Om Johan," sapa Rangga. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan akan tetapi tidak menemukan keberadaan Bella juga.

"Iya, sore. Loh, bukannya pesenan kue bundamu lagi banyak, ya? Tadi papamu bilang gitu sama om, kok gak dibantuin bundanya?"

Rangga memang berniat untuk membantu bundanya membuat kue sepulang sekolah dan tidak bermaksud menghindari dengan datang ke rumah Jero. Namun pada akhirnya Rangga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjawab bagaimana.

Jero yang paham dengan situasi pun segera mengalihkan pembicaraan. "Bella nggak ke sini, Pa?"

Pria yang visualnya 11 12 dengan Jero itu mengernyit heran. "Tumben nyariin Bella, lagi kangen nih ceritanya?" tanyanya sambil menaik-turunkan alis, sengaja menggoda puteranya.

Jero hanya diam dan memang tidak berniat untuk menjawab.

"Bella diajak orang tuanya ke Jepang. Sebenarnya mau ngajak kamu, tapi kamunya sekolah."

Jero manggut-manggut saja, ia merasa lega sekarang.

Dirasa tidak ada kepentingan lagi, maka Rangga berniat untuk pulang. "Om, kalau begitu saya pamit mau bantuin bunda bikin kue, tadi lupa." Rangga menjabat tangan sosok yang sudah dianggap sebagai papa keduanya itu.

"Yaudah sana bantuin bundamu, hati-hati di jalan. Kalau gitu om lanjut ngurus adiknya Jero dulu."

Rangga mengangguk samar. Kemudian dirinya berjalan mendekati Jero. "Bro, gue cabut mau bantuin bunda dulu," pamitnya pelan.

Jero mengangguk kemudian mengantarkan kepergian Rangga dari rumahnya.

Jero menghembuskan napas lega.

Cowok itu berbalik dari pintu depan kemudian berjalan santai menaiki satu persatu anak tangga hingga mendapati sebuah pintu berwarna cokelat gelap dengan gantungan kayu berwarna krem bertuliskan 'Jerome Jayaditya'.

Jero membuka pintu perlahan, menampilkan ruangan dengan nuansa warna abu-abu terang. Jero menyukainya karena nyaman.

Jero meletakkan tas hitamnya di samping tempat tidur kemudian dirinya sedikit bergeser ke arah lemari. Jemarinya bergerak untuk melepas dasi dan ikat pinggangnya, sesekali melihat pantulan dirinya di cermin.

Sungguh indah ciptaan Tuhan satu ini. Badan yang tegap dan tinggi, hidung mancung, bibir tebal, rahang tegas, serta mata sipitnya yang menarik membuatnya terlihat sempurna seperti pangeran pada komik favorit remaja.

Meski begitu, jangan dikira Jero akan berpose serta mengagumi betapa tampan dirinya.

Tidak, Jero tuh anti sama yang alay-alay.

I'll Be Your Home Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang