8

14 2 0
                                    

Tangisan pilu terdengar, tidak ada yang mampu mengeluarkan suara, Lisa hanya diam memeluk Livia, mengusap punggung sahabatnya lembut, air mata ikut turun membasahi pipi, Felix hanya diam dengan pandangan kosong, tangan masih terkepal kuat, sedangkan Satria tetap ada di sisi Lisa mengusap punggung gadisnya ikut menenangkan.

"Hiks, Lis gue nyerah, gue nyerah", racau Livia.

Lisa semakin mengeratkan pelukannya, mengigit bibir bawahnya agar tidak terisak, berusaha menguasai diri, "Liv, gue mohon janga bilang gitu", lirihnya membuat tangisan Livia semakin pecah.

"Maaf, maaf, gue bukan sahabat yang baik, maaf bikin lo nangis, maaf", racau Livia semakin menjadi-jadi, Lisa melepas pelukannya menatap wajah Livia, wajah yang tadinya pucat kini semakin kacau karena tangisan, Lisa meringis mengusap lembut pipi sahabatnya.

"Lo segala-galanya buat gue Liv, jadi gue mohon jangan menyerah, jadikan gue alasan lo tetap bertahan, gue ngak nangis karena lo, tapi gue nangis karena merasa ngak becus jadi sahabat", ujarnya lembut.

Tangisan Livia mulai mereda, tubuhnya semakin lemas, dan ambruk di dalam pelukan sahabatnya, melihat itu Felix mengambil alih, membawanya keluar menuju mobil Satria, membawa menuju rumah sakit bersama Lisa dan Satria.

Sampai di rumah sakit Felix seperti kesetanan membentak seluruh perawat yang tidak langsung menangani Livia yang semakin pucat , mendengar bentakan Felix beberapa perawat bergegas membawa Livia ke ruangan pemeriksaan.

Lisa sudah menangis di dalam pelukan Satria, terlihat jelas gadis itu tengah ketakutan sekarang, wajah pucat sahabatnya terngiang jelas di dalam fikirannya, Felix mengusap wajahnya kasar, mencoba menguasai gejolak emosi yang ada di hatinya.

"Keluarga pasien?", tanya dokter membuat ketiganya langsung mendekat.

"Saya saudaranya dok", ujar Lisa menghapus air matanya.

Dokter menghela nafas sejenak menatap gadis di depannya, meringis, "pasien tidak apa-apa, pasien hanya butuh istirahat saja, hm sebelumnya saya mau tanya apa pasien punya trauma?", tanya dokter.

Lisa tersentak kaget, tidak mampu menjawab membuat dokter menghela nafas mengerti, "saya harap kalian bisa membuat pasien merasa nyaman dan tidak tertekan, jauhkan dari hal-hal yang membuatnya takut apa lagi sampai stress", jelasnya.

Lisa mengangguk masuk kedalam ruangan Livia di ikuti Felix dan Satria, menatap wajah Livia yang masih pucat dengan mata yang terturup membuat tangisan Lisa pecah lagi.

"Sudah Lis, lo harus kuat demi sahabat lo", ujar Satri menenangkan.

"Sat, gimana gue bisa kuat, dia dari kecil sudah merasakan sakit, dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, dia dewasa tampa kasih sayang Sat", lirih Lisa di sela tangisannya membuat Felix yang melangkah mendekat ke arah Livia berhenti menoleh

"Lo ngak tau, siapa yang menjaga Livia saat lahir, dia hanya di jaga oleh suster di rumah sakit Sat, ayahnya tidak peduli sedangkan ibunya meninggal saat melahirkan, sebelum bercerai dari papa mama mengambil alih menjaga Livia, sampai umur kami lima tahun, setelah itu Livia kembali ke rumahnya, dia hidup sebatang kara dari umur lima tahun, untung sudah ada tabungan dan rumah yang ibunya siapkan", racau Lisa menangis pilu mengingat semua apa yang terjadi pada sahabatnya itu.

Hati Felix seperti di tikam mendengar racauan Lisa tentang Livia.

"Dan dengan kurang ajarnya si tua bangka itu masih mengusik kehidupan sahabat gue, Sat", lanjut Lisa mengeratkan pelukan pada tubuh Satria.

Satria memejamkan mata merasa bersalah sekarang, kemarin Satria alasan Lisa merasakan sakit luar biasa dan sekarang Satria melihat gadisnya menangis pilu lagi.

"Lis"

Lisa menoleh mendengar suara lirih dari brangkas, begitupun dengan Felix dan Satria.

"Liv, lo ngak apa-apa ? Yang mana yang sakit?", tanya Felix tampa sadar menggenggam tanga Livia erat.

Livia tersentak dengan perlakuan Felix, alisnya terangkat membuat Felix tersadar, Lisa mendekat berhambur kedalam pelukan sahabatnya itu, Satria terkekeh melihat wajah Felix yang terlihat memerah menahan malu.

"Gue mau bicara", ujar Satria menepuk pundak Felix.

Keduanya keluar dari ruangan Livia memberikan waktu untuk mereka.

Angin berhembus menerpa wajah tampan kedua cowok di atas rooftop rumah sakit, Satria menghembuskan nafas panjang membuat Felix langsung menoleh dengan alis terangkat.

"Mau ngomong apa lo?", tanya Felix akhirnya.

Satria menoleh dengan pandangan sulit di artikan, "gue suka sama Livia", ujarnya membuat mata Felix membola seketika.

"Anjing", umpat Felix menarik kerah baju Satria yang masih terdiam.

Satria menghempaskan tangan Felix sampai terlepas dari kerah bajunya, "gue jatuh cinta saat pertama kali bertemu dengannya pas mos sekolah, gue dan Lisa sudah dekat dari SMP, jadi saat masuk SMA Lisa memperkenalkan gue dengan sahabatnya, dia Livia, jujur gadis itu yang mampu menggetarkan hati gue untuk pertama kalinya".

Wajah Felix sudah memerah menahan amarah, sekuat tenaga Felix menekan amarah di hatinya, "gue ngak sadar jika Lisa ternyata suka sama gue, sampai saat itu tiba di mana Lisa mengungkap perasaannya sama gue, tidak ingin membuat Lisa sakit hati gue akhirnya menerima perasaannya"

"Tapi beberapa hari menjalani hubungan, gue akhirnya jujur sama Lisa, dia begitu hancur mendengar pengakuan gue, tapi satu hal yang membuat gue salut, dia rela melepas gue demi Livia", lanjut Satria, suaranya semakin mengecil.

Satria menoleh menatap Felix dengan senyuman di wajahnya, "itu alasan gue mempertahankan Lisa, gue akan mencintainya lebih di bandingkan rasa cintanya pada gue"

"Gue harap lo benar-benar menyukai Livia, Lix, bukan karena lo penasaran dengan hidupnya, gue ngak mau gadis itu merasakan sakit lebih dalam lagi dan gue ngak mau Lisa ikut merasakan sakit", jelasnya menepuk pundak Felix.

Bertepatan saat itu Lisa muncul dengan mata yang sudah berkaca-kaca, Satria tersenyum ke arah gadisnya, perlahan gadis itu berlari menubruk tubuh Satria.

Frozen Heart (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang