nineteen : It wasn't an expected joy, but It was an unforgettable one

218 40 12
                                    

Enam bulan sebelumnya..

"Ma,"

Ester, wanita paruh baya yang sedang sibuk menyirami tanamannya itu membelalak saat mendapati sosok sang putri yang hampir sebulan ini kabur dari rumah tiba-tiba saja kembali pulang.

Menjatuhkan selangnya begitu saja, Ester berlari memeluk bungsunya itu. "Kania," panggilnya. Air matanya tak dapat ia tahan, tangisan itu pecah. Rasa rindu, khawatir sekaligus senang beradu jadi satu. Betapa setiap harinya ia tidak pernah berhenti memikirkan kondisi Kania. Apa yang anaknya itu makan, bagaimana kesehatannya, apakah penyakitnya sering kambuh, berbagai kekhawatiran lainnya. Wajar saja, ibu mana yang tidak cemas saat anaknya kabur begitu saja dari rumah? Apalagi kondisi Kania yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan pada gadis itu

Kania membalas pelukan mamanya sambil berderai air mata. "Maafin, Nia, Ma." Tangisan itu tidak hanya semata karena rasa bersalahnya pada sang mama. Tanpa diketahui Ester, anaknya itu sedang mengalami hal yang tak kalah menyakitkan dengan penyakit yang ia alami saat ini.

Putus cinta.

Bukanlah hal mudah baginya untuk kembali ke Indonesia, meninggalkan seseorang yang menjadi alasannya bertahan hidup. Yesaya sudah seperti angin segar dalam kehidupannya. Tanpa Yesaya rasanya sesak.

"Ma.. sesak.."

Mendengar kalimat itu membuat Ester segera melepaskan pelukannya. "Nia kamu nggak apa-apa?" Ester panik seketika. Apa ia memeluknya terlalu erat? Pikirnya. Wajah sang putri tampak pucat. Ia meraba dahi Kania, tangannya seperti terbakar.

Kania tahu, penyakitnya sedang kambuh, rasa sesak ini.. tapi kenapa rasanya dua kali lebih sesak? Kedua paru-parunya seperti dihimpit sesuatu yang sangat besar. Kepalanya berdenyut hebat.

Tes..

"Nia, kita harus ke rumah sakit sekarang, Nak." Ester semakin tak keruan saat darah mulai mengalir dari hidung sang anak. Ia mencoba masuk untuk mengambil kunci mobil, tapi belum sempat kakinya melangkah,

BUG!

"KANIA!"

***

Dimana aku?

Adalah kalimat pertama yang terlintas di pikiran Kania ketika ia mendapati dirinya berada di tempat yang tidak familiar.

Kenapa warnanya putih semua?

Kania tidak mengerti. Ruangan macam apa yang dimensinya berwarna putih semua seperti ini?

"Ma? Kak Tommy? Kak Yudi?" Mencoba melihat ke sekelilingnya, tapi nihil. Tak ada dari satu namapun yang ia sebut tadi datang.

Dimana aku sebenarnya?

"Nia,"

Merasa namanya dipanggil, Kania pun berbalik. "Papa?" Tanpa disadari senyumnya mengembang. Ia hendak menghampiri sosok itu, memeluknya, tapi ia kemudian teringat sesuatu hingga langkahnya terhenti.

"Kenapa berhenti, Sayang? Kamu nggak mau peluk, Papa?"

Senyum di wajah itu perlahan memudar. "Pa.. apa Nia.."

Wirawan, pria itu hanya tersenyum. Terdapat jarak antara posisinya berada dengan Kania. "Nia, papa mau tanya satu hal."

"A-apa?"

"Nia sayang papa?"

"Sayang, Pa." Rasanya Kania ingin menangis. Senyum itu. Sudah lama sekali sejak ia melihatnya.

"Kalau gitu apa Nia mau ikut, Papa?"

Deg.

Kania, bukankah ini yang kamu mau?

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang