sixteen : would you walk with me 'till the end?

217 36 4
                                    

Akhirnya Yesaya setuju untuk keluar jalan-jalan sebentar setelah cukup berdebat dengan Abyatar, sepupunya.

Bersama Aby dan pacarnya Anya, aku dan Aya duduk pada sebuah kafe yang hanya berjarak kurang lebih setengah kilo meter dari villa, makanya tadi kami hanya perlu berjalan kaki untuk sampai kemari.

Aby menjelaskan tentang kafe ini panjang lebar, sudah seperti manajer tempat ini. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aby dan Aya seperti dua kubu magnet yang berbeda. Yang satu kulkas yang satu kayak radio rusak alias nggak bisa diem. Ya, sebelas dua belas kayak aku sih tapi lebih bar-bar Aby. Tadi saja saat makan di villa ia menepuk pundak Aya sampai Aya tersendak.

Saat aku sedang asik mendengar Aby yang berbicara, tiba-tiba saja kepalaku terasa pening. Dadaku terasa sesak. "Hueek.."

Astaga, bisa-bisanya kambuh di moment seperti ini!

"Lo nggak apa-apa?" tanya Aya padaku. Aku nggak menjawab melainkan segera bertanya dimana letak toilet, Aby pun memberitahuku. Anya menawarkan untuk menemaniku tapi aku menolak. Jangan sampai mereka tahu aku sedang mimisan.

Sambil menutupi bagian hidung dan mulut, aku buru-buru melangkah, meninggalkan ketiga manusia itu.

Begitu menemukan toiletnya, aku pun segera masuk pada salah satu bilik yang kosong. Aku terduduk pada bagian atas closet yang tertutup itu. Kepalaku bersandar pada dinding. Rasanya pusing sekali, padahal sudah minum obat tadi sebelum ke sini.

Untuk beberapa menit aku memejamkan mata sambil menyumpal hidungku dengan tisu agar darahku tidak mengalir ke baju. Setelah pusingku mereda, akupun menyalakan air dan membasuh hidungku. Kulakukan sampai darah tidak lagi mengucur dari sana.

Haah..

Entah sampa kapan aku akan mengalami hal seperti ini terus.

Aku mulai lelah.

Tidak.

Aku harus bertahan.

Aku dan Aya sudah bertemu lagi. Aku tidak mau pergi sebelum ia mengingatku lagi.

Dengan sisa kekuatan, aku pun bangkit dari dudukku dan keluar. Aku bercermin sebentar pada kaca toilet. "Semangat, Kania." ucapku, menyemangati diri sendiri.

Setelah kurasa penampilanku tidak terlihat lemas seperti tadi, aku pun melangkah keluar.

"Lo kok di sini?" Aku terkejut kala mendapati sosok Yesaya yang sudah berada di depan kamar mandi khusus wanita itu.

"Lo nggak apa-apa?" Yesaya mengulurkan ponselku. Saking paniknya aku aku lupa membawa benda itu.

"Sorry, tadi gue nggak sengaja baca chat lo," katanya. Akupun menerima kembali ponselku. "Nyokab lo kayaknya nyesel tuh," timpalnya.

Akupun menemukan chat masuk dan panggilan tak terjawab dari mama. Ya, sejak pagi tadi aku ngambek karena mama yang menyuruhku pulang padahal ia sudah sepakat untuk tidak mengangguku.

"Happy birthday."

Aku menoleh saat mendengar kata itu keluar dari bibir Yesaya. Ah.. sejujurnya aku tidak begitu senang mendengar kalimat itu.

Ucapan selamat ulang tahun hanya membuatku ingat bahwa usiaku semakin bertambah, itu artinya waktuku juga semakin menipis di dunia ini.

"Ada ya orang yang diucapin selamat ulang tahun tapi mukanya malah nggak seneng gitu?"

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang