six : I would never fall unless it's you i fall into

309 58 8
                                    

Yesaya kalang kabut.

Ini sudah tiga jam berlalu tapi Kania tidak muncul-muncul juga di hadapannya.

Tadi cewek itu pamit ke supermarket untuk membeli beberapa keperluannya, tapi entah kenapa sampai sekarang belum juga kembali. Matahari pun sudah berganti peran dengan bulan untuk menerangi kota Praha.

Yesaya menelusuri satu per satu supermarket yang ada di Old Town Square itu, namun nihil, tidak ada sosok yang dicari. Ia sudah mencoba menelpon ponsel cewek itu, tapi tidak aktif.

"Damn! Gue lupa baterainya habis."

Cowok itu juga bertanya pada setiap orang di sana sambil menunjukkan foto Kania, tapi tak ada satupun yang tahu. Yesaya hanya bisa menghela nafas frustasi. Ia menyesal kenapa tadi tidak ikut dengan Kania. Anak itu masih buta soal daerah di Prague.

Apa jangan-jangan Kania diculik?

"Apa jangan-jangan.. nggak nggak, nggak boleh." Yesaya mengusir pikirannya tidak tidak itu. Tapi bagaimana jika benar? "Kania.. lo dimana sih?" geramnya.

Malam semakin larut, tapi ia tak kunjung menemukan Kania. Cuaca juga semakin dingin, diiringi salju yang turun Yesaya memandang ke setiap penjuru, nafasnya terengah-rengah, lelah akibat berlari sejak tadi untuk mencari Kania.

Yesaya memandangi jam yang terlingkar di pergelangan tangannya. "Udah mau jam sepuluh ya Tuhan.." Empat jam berlalu sudah sejak Kania menghilang.

Yesaya hanya bisa berdoa bahwa firasatnya salah.

"Aya?"

Suara itu tertangkap oleh indera pendengaran Yesaya. Ia menoleh kesana kemari, mencari sumber suara itu sampai akhirnya matanya terhenti pada sosok yang berdiri di sebrang jalan itu.

"Kania?"

Di tengah lalu lalang orang itu Kania tampak mengulas senyum manisnya, memandang Yesaya.

Hal itu membuat Yesaya tertegun.

Entah kenapa tubuhnya membeku. Jantungnya kembali berdegup. Niatan untuk memarahi Kania begitu ketemu pudar begitu saja.

"Aya!"

Yesaya terkejut saat menyadari Kania yang sudah berada di hadapannya. Perempuan itu bahkan memegang pipinya sembari menatapnya bingung.

"Lo kok kayak pucet gitu?" Kania mengambil tangan Yesaya dan menggegamnya. "Sarung tangan lo mana? Tangan lo dingin banget."

"Lo dari mana aja? Kok lama banget?" adalah balasan yang keluar dari mulut Yesaya.

"Gue? Gue kan habis dari supermarket."

"Bohong. Kok gue nggak ketemu lo?"

"Lo nyari gue?"

Mendengar hal itu membuat Yesaya salting. Ia buru-buru melepaskan tangan Kania dari pipi serta tangannya. "Lo memang ngerepotin."

Kania justru terkekeh. "Maaf, tadi emang pergi ke supermarket kok tapi pas mau balik gue nggak sengaja lihat pertunjukan piano jadinya gue keasikan nonton sampai lupa waktu," jelasnya.

Yesaya hanya bisa menghela nafas mendengarnya. Dasar. Padahal ia sudah berpikir yang tidak-tidak tadi.

"Mau pulang aja?" tanya Kania kemudian.

"Emang lo udah puas jalan-jalannya?"

"Nggak usah. Mending kita balik aja, lo kayaknya capek gitu.."

Alih-alih menjawab Yesaya malah mengambil paper bag yang ada di tangan Kania. "Ayo, parkiran mobilnya jauh dari sini." Kemudian ia melangkah lebih dulu.

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang