eighteen : you cross my path and change my whole direction

230 44 32
                                    

Sebulan berlalu sejak Kania menghilang dan Yesaya belum juga berhasil menemukan jejak perempuan itu.

Pagi itu, tepatnya begitu Yesaya selesai membaca surat perpisahan Kania, ia segera melesat menuju bandara.

Tempat yang paling masuk akal menurutnya saat itu adalah bandara karena sudah pasti Kania akan pergi dari Prague.

Namun seolah dewi fortuna sedang enggan berpihak padanya, Yesaya terlambat. Ia menemukan bahwa pesawat tujuan Jakarta telah take off 15 menit sebelum ia sampai di sana.

Jika biasanya Yesaya orang yang santai dan ikut alur, kali itu ia tidak bisa bersikap seperti itu. Keesokan harinya, ia segera mengurus dokumennya untuk kembali ke Indonesia.

Tidak, Yesaya tidak bisa menerima kepergian Kania begitu saja dengan alasan yang tak jelas seperti itu.

Bahkan sesampainya di Indonesia ia masih mencari Kania. Segala cara ia coba mulai dari mencari di sosial media ataupun meminta bantuan kenalannya untuk melacak lokasi Kania dengan nomor ponselnya tapi hasilnya malah menunjukkan Kania masih berada di rumah Samuel. Sepertinya Kania membuang sim card-nya sebelum pergi. Begitupun dengan cara tracking lokasi lainnya, satupun tidak ada yang berhasil.

Entah dimana Kania berada.

Yesaya mungkin akan terus melanjutkan usahanya dalam mencari Kania tapi ia ingat bahwa wisuda hanya tinggal menghitung hari. Ia harus bersiap. Orang tuanya sudah menanti moment itu dan Yesaya tidak ingin mengecewakan mereka.

Maka dengan senyum yang dipaksakan ia berfoto bersama ayah dan ibunya pada hari graduation-nya itu. Setelah itu menyambut para kenalan ataupun junior yang memberikan ucapan selamat padanya.

Tak mau berlama-lama, selepas acara wisuda, begitu ibunya kembali ke rumah sakit dan ayahnya kembali ke kantor, Yesaya izin untuk tidak ikut acara syukuran pada teman-teman seangkatannya yang wisuda hari ini. Alasannya karena tidak enak badan, tapi tanpa Yesaya sadari, Satya, sahabatnya sejak SMA itu menyadari gelagat tidak biasa dari Yesaya. Ya tahu sih kalau Yesaya memang tidak suka berbaur dengan sosial, tapi sejak tadi pagi wajah cowok itu kusut sekali, tidak, bahkan sejak kepulangannya ke Indonesia Yesaya terlihat seperti tidak memiliki semangat hidup. Kalau sebelumnya ia terlihat selow terhadap apapun, kali ini cowok itu terlihat cenderung murung dan galau?

Entahlah, intinya Satya baru pertama kali melihat Yesaya dengan mode seperti itu.

"Eits, Bro. Gue ikut!"

Yesaya yang hendak menginjak gas itu berhenti saat Satya tiba-tiba saja muncul di hadapannya. "Loh, terus party-nya gimana?"

"Tiba-tiba gue mules. Mau balik aja," katanya. "Bukain dong."

Yesaya segera menekan tombol untuk membuka pintu mobilnya bagi sang sahabat. Begitu terbuka satya pun segera masuk, duduk di kursi sebelah Yesaya. Si pemilik pun segera melesatkan mobilnya.

"Yesa," panggil Satya kemudian. Yesa adalah panggilan dari Satya untuk Yesaya karena menurutnya kalau panggil Yesaya kepanjangan, mau manggil Aya juga dia suka geli sendiri karena Aya kedengarannya agak manja-manja gimana gitu kalau diucapkan.

"Apa?"

"Are you okay?"

"Do I seem like one?"

"Nope. Definitely not." Tujuh tahun bersahabat dengan Yesaya membuat Satya jadi tahu saat-saat dimana sahabatnya itu butuh teman curhat seperti ini, dan saat ini adalah salah satunya. "Kali ini apa? Nggak mungkin kan lo stress gara-gara skripshit? Come on lo udah make toga, Cok."

Yesaya terkekeh. Ya iya sih, memang dia tuh dulu suka ngadu stress sama Satya soal skripsi padahal mereka sama-sama ada di fase capek-capeknya sama revisian dosen, tapi Satya selalu menyemangatinya dengan bilang nggak apa-apa toh mereka stressnya bareng-bareng.

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang