📷 chapter t h i r t y s i x

1.6K 173 19
                                    

"Rad, liburan nanti lo beneran jadi ke Bandung, 'kan?" tanya Risha yang kini tengah menjadi lawan bicara Radya melalui sambungan telepon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Rad, liburan nanti lo beneran jadi ke Bandung, 'kan?" tanya Risha yang kini tengah menjadi lawan bicara Radya melalui sambungan telepon. "Waktu itu kan lo bilang kangen sama gue, jadinya udah fix, dong? Mama juga pengen ketemu sama lo tau, Rad. Ah, sama Ayah Haris juga. Tapi lo kebangetan banget selama ini nggak pernah anggap dia sebagai bokap lo juga. Selalu aja nyebut Ayah Haris cuma sebagai bokap tiri gue."

Radya yang mendengarnya kontan menarik kedua ujung bibir membentuk lengkungan tipis. Satu tangannya yang tidak memegang ponsel kemudian tergerak meraih sebatang rokok--yang masih menyala--pada asbak. Lantas ia selipkan di antara dua bibir untuk ia hirup asapnya dan kembali diloloskan ke udara. Pandangan laki-laki itu terarah ke depan. Yang dapat terlihat dari balkon kamarnya hanyalah langit malam tak berbintang serta rumah-rumah warga yang berada di sekitar.

Seraya menyandarkan punggung di kursi, Radya pun akhirnya membalas, "Nanti kalau ketemu juga bakal tetep gue panggil 'ayah'." Sejenak ia menghela napasnya. "Lo tau sendiri gue ketemu beliau cuma tiga kali setelah pernikahan. Itu juga nggak pernah ngobrol banyak. Jadinya kami nggak sedeket itu." Ada jeda. "Tapi, Sha, kalau dipikir-pikir, kayaknya Ayah Haris sama Papa Sandi nggak ada bedanya. Makin sini gue ngerasa makin jauh aja sama keduanya."

Risha tergeming sesaat. "Papa sesibuk itu ya, Rad?"tanyanya prihatin.

Radya mengangguk kecil meski tahu Risha takkan bisa melihatnya. "Akhir-akhir ini lebih parah, tapi gue bisa paham. Papa bolak-balik ke luar kota buat ngecek pembangunan hotel baru di Surabaya."

"Eh, serius, Rad? Gilaaa, makin-makin aja si papa sekarang."

"Lo sendiri nggak pengen ketemu papa, Sha?"

"Ck, pertanyaan macam apa itu? Ya jelas maulah! Tapi kayaknya gue harus ngecek jadwalnya dulu nggak, sih? Yang tinggal serumah aja hampir nggak pernah ketemu, gimana sama gue?"

"Sialan," Radya mengumpat, tetapi pada akhirnya ia hanya dapat menarik ujung-ujung bibir, tersenyum miris. Perkataan Risha memang betul-betul sesuai dengan realita yang ada. Lantas yang laki-laki itu lakukan selanjutnya adalah kembali mengisap rokok dan membuang asapnya secara kasar.

"Oh iya, Rad, gue baru keingetan kalau gue mau sekalian nanya sesuatu sama lo," ujar Risha yang mendadak mengganti topik pembahasan mereka, entah sengaja atau ia memang hanya berkata apa adanya.

Pada akhirnya Radya pun hanya mengikutinya saja. "Nanya apa?"

"Menurut lo, Gunung Papandayan atau Gunung Salak?"

"Hah?"

"Kok malah hah? Ya jawab, dong."

"Ngapain lo tiba-tiba nanyain itu?"

"Nanya doang, sih, Rad."

"Nggak percaya gue."

"Kenapa susah banget disuruh jawab doang?"

Through the Lens [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang