Sesuai dengan waktu yang telah disepakati, Radya akan berkunjung ke rumah Alsa tepat di hari Minggu ini. Laki-laki itu mengabarkan bahwa ia akan berangkat pada pukul sembilan dan kemungkinan akan sampai satu jam setelahnya. Namun, setelah menunggu hampir dua jam lamanya, Radya belum juga tiba di tujuan. Kemungkinannya ia terjebak macet sebab sekarang adalah akhir pekan. Alsa pun bermaksud untuk menghubungi Radya karena ingin memastikan, tetapi tak lama setelah itu sang gadis mendengar suara mesin mobil, dari mulai samar sampai terdengar jelas.
Alsa segera saja bangkit dari sofa di ruang tamu menuju teras depan. Dan dugaannya ternyata benar, mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya adalah mobil Radya. Senyum penuh kelegaan pun lekas terbit di bibirnya. Ia lantas memakai sandal jepit dan beranjak untuk membukakan pagar.
Suara pintu mobil yang dibuka kemudian terdengar. Namun, hal tersebut membuat Alsa kebingungan sebab asalnya dari arah depan, bukan belakang. Sosok Radya lalu terlihat turun dari kendaraan beroda empat itu dan segera menghampiri Alsa.
"Loh, lo kok nyetir sendiri, sih?" tembak Alsa langsung usai Radya berdiri menjulang di hadapannya.
"Nggak papa, gue udah bisa, kok," Radya menjawab begitu enteng. Namun, sesungguhnya ia tengah berusaha menyembunyikan sesuatu terkait apa yang ia alami saat di perjalanan tadi, yang membuatnya sampai lebih lama. Laki-laki itu lantas sedikit menarik paksa kedua sudut bibirnya. "Gue lupa bilang sama Pak Anto kalau gue mau pergi hari ini. Gue nggak mau ganggu waktu liburnya. Lagian, sejujurnya gue lebih nyaman nyetir sendiri daripada pake supir. Rasanya jadi nggak bebas."
Alsa meloloskan napas lelah. Sorot pada kedua matanya tampak serius bercampur cemas. "Bukan masalah nyaman atau nggaknya kali, Bang. Tapi kan itu demi keselamatan diri lo sendiri juga. Emangnya lo udah bener-bener bisa nyetir pake dua tangan?"
Radya menahan ringisan, lalu dipandangnya sekilas lengan kirinya yang sudah tak lagi menggunakan penyangga khusus. Kendati demikian, anggota tubuhnya yang satu itu serasa begitu kaku dan mati rasa seolah kehilangan fungsinya. Radya masih belum mendapatkan ruang gerak yang bebas dan tentu hal itu akan membutuhkan waktu. Lantas, jika ditanya mengapa Radya bisa sampai di rumah Alsa dengan selamat, maka jawaban tepat yang dapat laki-laki itu berikan mungkin hanyalah "keajaiban".
Atau lebih tepatnya, keajaiban dalam menghindari kecelakaan bagian kedua yang nyaris menimpanya kalau ia tidak-tidak cepat membanting setir ke pinggir jalan lalu menginjak rem.
Embusan napas berat Radya loloskan. Ia tersenyum kecil dan mengangguk dengan yakin, sengaja agar Alsa tak begitu mengkhawatirkannya. "Kalau nggak bisa, gue nggak akan ada di depan lo sekarang," tutur Radya, lalu cepat-cepat ia mengganti topik dengan menyerahkan tas plastik yang ia bawa di tangan kanannya kepada Alsa. "Omong-omong, ini, tadi gue mampir sebentar pas di jalan buat beli ini. Rasanya nggak enak kalau kali ini gue datang dengan tangan kosong."
Sejenak Alsa memerhatikan tas plastik tersebut, lalu ia terperangah kala mendapati apa yang tertulis pada permukaannya. Sebuah nama cake shop yang cukup terkenal di kota ini. Terkenal karena kuliatas produk yang bukan main, setara dengan harga jual yang ditawarkan. "Bang ... kue di toko ini kan mahal-mahal banget ...," cicit gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through the Lens [END]
RomanceKetika bertugas sebagai seksi dokumentasi dalam acara festival musik di kampusnya, lensa kamera milik Mahameru Faradya tak sengaja menangkap objek lain berupa seorang gadis yang tanpa disangka mampu menarik perhatiannya dalam sekejap. Rasa penasaran...