Dari delapan identitas pendaki yang terungkap, nyatanya tidak terdapat nama Radya di sana.
Diberitakan mereka adalah rombongan mahasiswa asal Yogyakarta yang berangkat satu hari setelah Radya mengabarkan kepergiannya. Kendati demikian, informasi tersebut tidak serta-merta membuat Alsa merasa lega. Ia terduduk lemas di sofa, memikirkan bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa sesuatu telah menimpa Radya hingga laki-laki itu begitu saja hilang tanpa kabar. Di saat itu juga Alsa bahkan segera menghubungi Bi Ajeng untuk mencari tahu. Namun, hasilnya nihil. Bi Ajeng tidak menjawab panggilan. Membalas pesannya pun tidak.
Hati Alsa semakin tidak tenang. Kekhawatiran telah menguasai dirinya tanpa memberikan celah baginya untuk tetap berpikiran positif. Alsa betul-betul benci situasi saat ini sebab tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu sampai Radya benar-benar kembali ke sisinya. Tapi, masalahnya, berapa lama Alsa harus menunggu? Dan, akankah Radya betulan akan kembali dalam keadaan yang sangat Alsa harapkan?
Tentu tidak ada yang tahu.
Tidak ada yang tahu, kecuali Sang Pemilik Dunia di atas sana.
Perasaan Alsa kian tak keruan. Ia bahkan tak sadar tetes demi tetes cairan bening mulai mengalir di pipinya. Bibir bawahnya digigit dengan kuat. Napasnya betul-betul terasa berat. Perasaan bersalah mulai menyelinap tanpa aba-aba. Seandainya ... seandainya saja kala itu ia dapat menahan diri dan lebih sabar, pasti takkan ada masalah yang terjadi antara dirinya dan Radya, sehingga laki-laki itu tak pergi dengan meninggalkan penyesalan besar dalam diri Alsa. Kendati Alsa belum dapat memastikan apa yang sesungguhnya terjadi, nyatanya firasat sang gadis tetap menuntunnya pada hal-hal yang tidak diinginkan.
Sekali lagi Alsa katakan bahwa ia sungguh membenci situasi ini. Bukankah Radya terlalu jahat telah membiarkan Alsa harus menebak-nebak bagaimana keadaannya sekarang? Alsa benar-benar tidak masalah dengan perlakuan silent treatment yang sempat Radya berikan sebab ia memang telah membuat kesalahan, dan nyatanya laki-laki itu pun tidak betul-betul mendiamkannya begitu saja. Namun, untuk yang kali ini tentu sangat berbeda, dan itu sudah berlebihan. Alsa sungguh tidak kuat jika harus memeranginya dalam waktu yang lama.
Perlahan-lahan pertahanan Alsa kian runtuh sepenuhnya. Isakannya mulai terdengar memenuhi ruangan, tak peduli bahwa masih ada Mama di rumahnya setelah Papa dan Ravin pergi menjalani kegiatannya masing-masing.
Pada saat itu Mama yang kebetulan tengah berada di dapur buru-buru beranjak menuju ruang tengah. Kedua matanya melebar menemukan sang anak perempuan menangis tersedu-sedu seraya menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dengan cepat Mama memghampiri Alsa di sofa sembari bertanya panik, "Ya ampun, Kak ... Kakak kenapa nangis?" Mama yang sudah terduduk di samping Alsa segera meraih gadis itu ke dalam rengkuhan hangatnya.
Alsa lekas memeluk Mama dengan erat dan menumpahkan tangisannya tanpa ragum. Ia bahkan kesulitan hanya untuk menjawab pertanyaan Mama.
"Coba bilang sama Mama Kak, Kakak kenapa, hm? Mama ada buat salah, ya? Atau Ravin ada gangguin kamu sampe bikin kamu nangis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Through the Lens [END]
RomanceKetika bertugas sebagai seksi dokumentasi dalam acara festival musik di kampusnya, lensa kamera milik Mahameru Faradya tak sengaja menangkap objek lain berupa seorang gadis yang tanpa disangka mampu menarik perhatiannya dalam sekejap. Rasa penasaran...