📷 chapter t w e n t y s i x

1.6K 231 14
                                    

Alsa sadar betul bahwa dirinya memang terlalu impulsif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alsa sadar betul bahwa dirinya memang terlalu impulsif. Ojan bahkan tampak tak percaya saat mendengar apa yang Alsa katakan padanya. Namun, usai diberi tahu sedikit mengenai bagaimana kondisi dalam rumah Radya saat ini, rasanya Alsa jadi sama sekali tak menyesal. Ojan bahkan mau berbaik hati mengantarkan Alsa setelah gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Lagipula, Alsa hanya ingin menjenguk saja, dan ia sedikit berharap pula bahwa kehadirannya akan membuat Radya merasa jauh lebih baik.

Ojan bilang, setelah perceraian kedua orangtua Radya, laki-laki itu hanya tinggal bersama ayahnya serta satu asisten rumah tangga. Sang ayah merupakan seorang workaholic sehingga jarang memiliki banyak waktu bahkan untuk sekadar berbincang-bincang dengan anaknya sendiri. Dan saat ini beliau tengah melakukan pekerjaan di luar kota dan baru akan kembali seminggu yang akan datang. Ojan pun ragu jika ayahnya tahu mengenai kondisi Radya sekarang.

Selama tiga hari ini Radya sudah pasti hanya dirawat oleh Bi Ajeng yang memang sudah berkerja dengan keluarganya sejak lama sekali. Kendati demikian, Alsa pikir laki-laki itu pasti tetap saja akan merasa kesepian.

Ah, tidak.

Sesungguhnya perasaan itu pasti telah menjadi teman sehari-hari Radya semenjak keluarga intinya terpecah-belah.

"Tuh, rumahnya yang cat abu-abu itu," ujar Ojan setelah mobilnya berhenti di seberang rumah besar yang ia sebutkan tadi. "Biasanya pagarnya nggak digembok, sih. Nanti di dalem lo tinggal pencet bel aja, pasti langsung dibukain sama Bi Ajeng."

Alsa lekas manggut-manggut mengerti. "Lo nggak ikut jenguk juga, Bang?" tanya Alsa seraya melepas seat belt.

"Nggak usahlah, tuh anak juga pasti bakal lebih seneng dijenguk sama lo daripada gue."

Senyum cangung pun terbit di bibir Alsa. "Ya udah kalau gitu, gue turun ya, Bang. Makasih banyak udah nganterin."

Selepas mendapat balasan dari Ojan, Alsa lekas saja turun dari mobil. Gadis itu lantas menyeberangi jalan yang kebetulan tengah sepi pengendara sampai akhirnya ia berdiri di depan pagar hitam yang tinggi menjulang. Di balik pagar tersebut, terdapat sebuah bangunan tingkat dua yang dominan bercat abu-abu dengan gaya arsitektur kontemporer, minimalis tetapi tetap tampak mewah. Sejenak Alsa pun hanya geming seraya memandangnya dengan takjub.

Sang gadis lalu menghirup udara banyak-banyak dan ia embuskan dengan perlahan. Usai memantapkan diri sekali lagi, ia kembali ambil langkah untuk membuka pagar dan masuk ke pekarangannya. Jantungnya mulai berdebar, tetapi ia tetap beranjak menuju pintu utama meski keraguan sedikit-sedikit kembali dagang.

Mengingat perkataan Ojan, Alsa pun segera menekan bel satu kali. Namun, usai beberapa sekon berlalu, tak ada tanda-tanda pintu akan dibukakan. Alsa kembali lagi melakukan hal serupa, dan hasilnya tetap sama. Di saat itu Alsa pikir sepertinya sedang tidak ada siapa pun di dalam sana, meski ia tak tahu ke mana perginya Radya dan Bi Ajeng. Alih-alih ingin menunggu, Alsa justru kembali diserang oleh rasa ragu yang membuatnya perlahan-lahan mundur. Mungkin memang Alsa tak perlu sampai sejauh ini dan cukup menghubungi Radya melalui chat atau telepon saja.

Through the Lens [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang