SENANDUNG BERAT yang asing terdengar dari mulut pria di balik masker itu. Dalam keadaan yang nyaris gelap, ia memainkan pisau lipat di jemarinya, mendekatkannya ke hidung, mencium dan merasakan dinginnya besi. Sebentar lagi, pikirnya. Sebentar lagi.
Masih memainkan pisau lipat di tangan kirinya, tangan kanan pria itu memegang satu botol bir dan menenggaknya. Mata hijaunya menatap layar CCTV, mencari-cari di mana keberadaan sosok si kelinci. Pria itu tahu, kelinci itu berlari, mencoba untuk kabur tapi ladang miliknya terlalu luas dan terlalu banyak perangkap yang sudah ia pasang. Berlarilah dan teruslah berlari, kelinci kecil.
Bibirnya tertarik ke atas, menampilkan seringai yang paling lebar yang pernah ia tunjukkan. Ia ingat bagaimana ketika ia menemukan kelinci itu. Kelinci berbulu putih halus yang ia bawa dari pinggir kota, mengangkat jempolnya meminta tumpangan ke kota sebelah. Tapi sayang ia sedang tidak beruntung, ia terperangkap dalam jebakan seekor srigala yang tak kunjung kenyang yang sedang menyamar menjadi seekor kambing; sama-sama jinak dan menyenangkan, pemakan rumput dan sayuran hijau.
Pria itu membuatnya pingsan setelah mereka berbicara satu sama lain, sedikit mengenal nama dan lebih dari itu; mengenali seluk beluk tubuhnya dan mengecup bibirnya yang lembut. Aroma tubuh kelinci itu begitu manis dan menggiurkan. Jujur saja, pria itu menyukainya; aromanya. Mungkin binatang kecil itu tidak tahu bahwa dirinya berada di dalam perangkap. Ia hanya bisa melompat dan melompat seolah-olah keadaan begitu normal padahal ada seekor srigala, bahkan seekor elang yang mengamatinya; hendak memangsanya.
"Apa yang akan kau lakukan, Nona Kelinci?" desisnya sambil menenggak habis bir dalam botolnya.
*
Ladang yang pria itu miliki sangatlah luas, peninggalan keluarganya yang sudah pergi entah ke mana. Terlanjur malas mengurusnya dan bosan, ladang itu lama-lama menjadi belantara. Tak ada palang yang menghalang ladang dengan dunia luar namun tak ada berani yang masuk ke dalam ladang yang telah menjadi belantara ini. Karena mereka tahu namun kelinci ini tidak.
Alih-alih membawa gadis itu ke dalam rumahnya, si pria memutari seluruh kebun. Ia berhenti di salah satu pojokan yang sangat ia senangi; tempat terjauh, tergelap dan terlembab dari seluruh bagian ladang ini. Ia kembali menghirup udara, mencium aroma keringat manis yang keluar dari tubuh si kelinci. Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah si kelinci dan menghirupnya sekali lagi. Wangi manis tubuh gadis itu, aroma manis yang akan pria itu hirup untuk terakhir kalinya sebelum gadis itu...yah, sebelum gadis itu berlari-lari meminta keluar dari sana.
Menggendong kelinci itu keluar dari Jeep warna karatnya, ia menidurkannya di bawah pohon dengan selembar kertas berisi pesan supaya dia bertahan hidup. Kemudian pria itu kembali ke rumah tempat ia memantau gerak-gerik yang terjadi. Dari salah satu CCTV-nya pria itu dapat melihat si kelinci yang mulai terjaga dan ketakutan setelah melihat pesan itu. Ia mencari barang-barangnya, tetapi pria itu tak meninggalkan apapun untuknya. Seringai pria itu kembali melebar ketika melihat si kelinci mulai berlari mencari-cari jalan ke luar.
Setiap dua puluh menit pria itu akan keluar dari tempat pantaunya, membawa senapan berburu dan menembakinya ke udara, membuat burung-burung terkejut, terbang tak tentu arah. Dua puluh menit pertama kelinci itu berhasil bertahan hidup, begitu pula dua puluh menit berikutnya. Adrenalin pria itu berpacu. Ia senang, sangat senang, tapi sayang kelinci itu berhasil tertangkap di putaran ketiga dan itu sedikit mengecewakannya. Sepertinya ia salah mencari mangsa. Mungkin seharusnya ia mencari seorang atlit supaya daya tahan tubuhnya kuat. Tapi ya sudahlah, sudah terlanjur. Mangsa tidak boleh disia-siakan bagaimanapun hasilnya. Ia akan menghargai mereka, dan tidak membuang-buangnya begitu saja
Kelinci itu menangis, maskaranya luntur, ia memohon-mohon untuk membiarkannya pergi. Pria itu membawanya ke sebuah ruang bawah tanah tempatnya eksekusi. Seluruh gadis-gadis yang pernah ia tangkap meninggalkan jejak di sana; berupa rambut mereka yang terpajang di puluhan manekin kepala dan kulit mereka yang dijahit dan dipasang di dinding di bawah temaram lampu berwarna kuning. Pria itu memukul pipi si kelinci, membuat isakannya berhenti sesaat. Mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu, pria itu berkata dari balik masker dengan suaranya yang dalam, nyaris serak, "Kau cantik, kau tahu itu 'kan?"
Terdengarlah malam itu dari bawah tanah, nyanyian-nyanyian indah di telinga pria itu. Nyanyian ketika ia menikmati si tubuh kelinci untuk terakhir kali yang kini sudah dipenuhi peluh dan tangis, nyanyian ketika ia mengambil pisau lipatnya dan secara perlahan mendekatkannya ke si kelinci. Jerit minta ampun, tangis minta tolong; nyanyian indah di telinganya yang ia senandungkan kembali dari balik maskernya. Lambat laun, sangat lambat nyanyian yang nyaring itu memelan dan lamat-lamat tenggelam dalam sunyinya malam.
*
Malam dua hari setelahnya adalah gilirannya memasak. Anak-istrinya menunggu hasil buruan sang ayah yang telah beberapa hari menetap jauh dari rumah.
"Ayah, menangkap apa?" tanya sang anak.
"Kelinci."
KAMU SEDANG MEMBACA
FF[1] - June
RandomKumpulan Flash Fiction yang ditulis oleh beberapa member Sahabat Pena. Dengan tema yang berbeda dan masing-masing keunikannya. Selamat Membaca^^ Juni. @raezhyla - @insanaya - @arloji - @SaberAsh - @TalentaSaritha - @Hyderia - @luminous-rare - @ir...