"Jombang-Gambir... Jombang-Gambir. Mari saya bantu, Mbak.. Mas nya juga." seru seorang porter stasiun Kereta yang menghampiri calon penumpang.Raisya yang ikut serta mengantar Khalisa dan Sina tertawa dengan sebelah tangan merapikan jilbabnya dan sebelah lagi menyeret koper milik sepasang pengantin yang hari itu akan pindah ke Bekasi.
"Berasa tahun sembilan puluhan, ya, Sa. Stasiunnya masih belum canggih," bisik gadis bertubuh semampai pada sahabatnya, Khalisa.
Yang diajak bicara sejak tadi hanya melamun, berjalan pelan di belakang Sina, suaminya.
"Sa... jadwal di tiket kereta kamu, dua puluh menit lagi berangkat nih! mau diam saja atau perpisahan dulu sama aku?" Raisya terpaksa menarik lengan sahabatnya agar menoleh, setelah Sina dibantu oleh porter mengangkat barang milik Khalisa.
"Masa depanku hancur, Sya. Sia-sia, aku mengejar beasiswa kuliah kalau pada akhirnya berhenti separuh jalan." Khalisa terisak pilu dengan gurat kecewa di wajahnya.
Mata Raisya ikut berkaca-kaca, merangkul sahabat seperjuangannya erat-erat. Dia bingung harus bicara apa lagi untuk menyemangati Khalisa. Sedangkan Diviya izin absen karena ada materi kuliah siang ini.
"Kamu masih bisa belajar di mana saja meskipun sudah menikah, Lisa sayang. Sementara jodoh? Belum tentu datang dua kali. Ingat, kamu akan berangkat ke kota besar... dan di sana banyak ilmu yang bisa kamu dapat!" Raisya mengusap bahu sahabatnya, berharap bisa menguatkan.
"Tapi aku biasa tinggal di asrama sama teman-teman kita yang lain. Aku gak perlu kota besar, sya." Bantah Khalisa melepas rangkulan gadis yang punya badan sedikit lebih berisi dibanding dirinya.
"Tapi Allah lebih tahu apa yang kamu butuhkan, Sa. Ini takdirmu, artinya... ini yang terbaik sekarang buat kamu. Yang manut sama suami, ya. Kamu lebih hebat daripada aku dan Diviya, loh." Hibur Raisya menyeka pipi sahabatnya yang basah, memandangnya prihatin.
"Hebat dari segi yang mana?" Suara Khalisah makin serak, membalas sendu tatapan Raisya.
"Hebat karena... aku dan Diviya masih kuliah soal teori, sementara kamu... Allah bikin terjun praktek langsung jadi istri solehah sekaligus menetap di kota besar." Raisya bicara sedikit tersendat karena bingung arah pembicaraannya akan ke mana.
"Nggak nyambung, kamu Sya. Sudah semester empat masih saja sok bijak," Khalisa jadi terkekeh, menghujani pukulan di lengan Raisya.
Beberapa detik kemudian Khalisa memandangi sekitar stasiun. Sina terlihat menunggunya di dekat pintu kereta. Kalau tidak salah ingat, sekitar dua tahun lalu Ayah masih mengantarkannya ke stasiun ini untuk berangkat ke Pondok Pesantren. Kereta tujuan Surakarta menjadi saksi perjalanan Khalisa, Diviya dan Raisya saat itu.
Baru setelah lulus Aliyah setara SMA, mereka menetap di kota kelahiran yang kebetulan memang menyediakan beberapa Asrama pesantren tak jauh dari area Universitas tempat kuliah.
"Sa... suamimu sudah nungguin. Masuk kereta sekarang, aku antar, ya." Bisik Raisya membuyarkan lamunan Khalisa.
Pemandangan yang begitu indah, Raisya menggamit tangan sahabatnya layaknya saudara sendiri. Lalu ia antar langkah Khalisa sampai di pintu kereta tempat dimana Sina menunggu.
"Pak Sina, saya titip Lisa. Tolong jaga dia baik-baik, ya. Sebagaimana Pak Rahim menjaganya sampai sebesar ini." Pesan gadis itu sambil cengengesan, karena baru kali ini dirinya berani mengajak bicara lelaki sependiam Sina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Singgah (Terbit)
RandomPerjodohan antara gadis piatu modern dengan pemuda pilihan Ayahnya yang menyamar jadi seorang culun.