Mozaik 10

88 11 5
                                    

Khalisa dan Sasa kembali melanjutkan pekerjaan di Toko. Hampir dua jam mereka terlambat bekerja karena urusan di luar ditambah lagi terjebak macet.

"Kamu serius banget ngelihatin dosen tadi, Lis? Padahal dia cuma minta berkas untuk bikinin surat rekomendasi," Bahas Sasa lagi.

Khalisa baru saja memasukkan beberapa adonan ke dalam panggangan. Kemudian melepas sarung tangan dan menoleh pada Sasa.

"Pak dosen tadi ada kemiripan sama Mas Sina, Sa. Aku seperti melihat Mas Sina yang berbeda dalam diri dosen itu." Khalisa mengatakan dugaan anehnya.

"Mas Sina, suami mu?" Pertanyaan Sasa dijawab anggukan oleh Khalisa. "Kembarannya bukan?"

"Aku belum kenal sama keluarga Mas Sina. Dia punya kembaran atau saudara saja aku belum tahu." Khalisa terpaksa berterus terang.

"Hah? Gimana ceritanya? Jangan bercanda, lho, kamu." Sasa tidak percaya.

"Mau percaya atau nggak, itu hak kamu, Sa." Khalisa merentangkan kedua tangannya, pasrah.

Tangan Sasa yang tadinya sibuk menata kue di atas wadah, kini pindah meraih kedua pergelangan teman kerjanya yang tampak murung.

"Aku gak tau gimana ceritanya... tapi apapun yang terjadi dalam rumah tangga kamu, aku doakan yang terbaik, ya, Lis." Sasa merasa dirinya tak perlu menanyai lebih lanjut.

Merasa nyaman, Khalisa dengan mudah menceritakan secara rinci kisah pernikahannya dengan Sina. Belum lama mengenal Sasa, tapi Khalisa menemukan sahabat baru yang langsung memahami perasaannya.

Benar kata Ayah, kemana kaki melangkah... ke pelosok negeri sekalipun. Kalau niatnya baik, pasti Allah kirim saudara atau teman pengganti. Bisa saja saat ini, Sasa adalah pengganti Raisya dan Diviya di sisi Khalisa.


~~~


Menjelang petang, Khalisa dapat pesan dari Sina setelah ia tiba di halte. Suaminya itu tidak bisa menjemput karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.

Khalisa menghela napas berat. Pandangannya menatap lurus ke jalan raya yang sesak dalam kemacetan. Tiba-tiba di hadapannya sebuah sedan ferrari berhenti.

"Naik!" Perintah dosen muda pemilik sedan yang sengaja menepi, turun dan menghampiri.

Gadis itu mengerutkan dahi bingung. Nada suara di hadapannya persis seperti Abdullah Sina. Saat tatapan Khalisa fokus memperhatikan kembali penampilan pemuda di hadapannya, dosen tersebut menampakkan sifat ramah dan ceria berbanding terbalik dengan Sina.

"Mbak Khalisa, mari masuk ke mobil saya. Pak Sina menyuruh saya untuk menjemput anda. Atau anda mau bermalam di halte ini?" tanya Pak dosen dengan mimik yang mengundang senyum.

Gadis mana yang menolak saat ditawari naik mobil mewah? Sepertinya langka. Sayang, semuanya tidak berlaku secepat itu bagi Khalisa. Ia masih menerapkan ajaran yang tertanam sejak di pesantren dulu.

"Maaf, Pak. Suami saya nggak pernah bilang seperti itu. Lagipula kita bukan muhrim. Saya nggak bisa jalan berdua dengan anda."

Pemuda di hadapan Khalisa mengangguk sepakat. Dalam hatinya menaruh rasa kagum terhadap sosok gadis tersebut.

Jodoh Singgah (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang