Seperti biasa, Khalisa menyiapkan hidangan makan malam. Dengan setia ditunggunya sang suami pulang.
Melihat jam dinding kini menunjukkan pukul sembilan malam, ia mengecek kembali gawai. Mungkin ada pesan kalau semisal Sina kerja lembur. Namun, tiba-tiba saja yang ditunggu akhirnya datang mengucap salam.
"Waalaikumsalam. Aku gak dengar ada suara pintu depan dibuka, Mas. Kapan masuknya?" Heran Khalisa meraih punggung tangan suaminya untuk disalami.
"Maaf, ya. Kamu jadi ngantuk, menungguku terlalu lama." Sina merasa bersalah.
"Yaudah kita makan malam sekarang, ya, Mas." Ajak Khalisa menuangkan nasi ke piring Sina.
Sina yang tengah mencuci tangan di wastafel melirik istrinya yang semakin hari terlihat bertambah anggun. Khalisa tampak memperbaiki pashmina yang melorot ke bahu hingga terurai rambut hitamnya.
Beberapa menit kemudian keduanya terdiam menikmati makan malam.
"Makasih, ya. Kamu selalu masak yang enak-enak buat saya." Ucap Sina yang jarang memuji.
Khalisa mengangguk biasa saja. Baginya ucapan terima kasih tidak terlalu perlu untuk sebuah tanggung jawab. Seperti Ayah yang mengajarkannya untuk tidak selalu berterima kasih lewat ucapan, tapi lebih melalui perbuatan.
Beda hal nya dengan yang Khalisa dapat saat di pesantren, ucapan terima kasih kadang harus diutarakan sebagai bentuk apresiasi menanamkan ilmu tingkah laku. Dengan tujuan agar sama-sama bersyukur.
"Gimana urusan kuliahnya?" tanya Sina lebih lanjut.
"Alhamdulillah, beres, Mas. Besok aku ke kampus lagi. Oh, ya, Mas.. teman kamu yang dosen itu ternyata dulu sepondok sama kamu?" Pertanyaan Khalisa seolah memastikan.
Sina tersedak. Khalisa menuang segelas air dan mengangsurkannya pada Sina. Setelah menenggak air, Sina merasa lebih baik, lalu mengangguk pelan membenarkan pertanyaan istrinya tanpa keterangan.
"Kalau Ayah tau aku semobil sama teman njenengan, Mas... bisa dipecat, gak jadi putrinya lagi aku ini." Ucap Khalisa mengutarakan sikap mendiang sang Ayah.
Abdullah Sina tersedak untuk kedua kali. Ternyata Khalisa sama sekali tidak mengenal suaminya. Sosok yang sudah berminggu-minggu bersamanya. Suara yang setiap hari didengarnya. Hanya karena samaran sedikit, Khalisa menyangka Dr. Abdullah adalah orang yang berbeda.
Bahkan tidak sekalipun Khalisa bertanya apa pekerjaan suaminya, tentang masa kecil Sina. Gadis itu hanya menuntut untuk secepatnya dipertemukan dengan keluarga dan orang tua Sina.
Khalisa bingung dengan sikap Sina malam ini. Lama kelamaan gadis itu tak tahu lagi caranya menentukan sikap. Mengatasi kekakuan dan tingkah tertutup suaminya, sudah sangat membosankan.
"Lebih enak mana, naik mobil ferrari... atau motor butut saya?" Sina kehabisan tema bahasan.
Khalisa tercengang mendengar pertanyaan aneh suaminya. Sejak kapan seorang Sina mengukur istrinya dari materi? Ia menarik nafas panjang sebelum menyahut.
"Ada pertanyaan lain ndak sih Mas? Aku kalau disuruh jalan kaki juga lebih senang. Kalau bukan karena perintah njenengan... mana mau aku ikut naik ke mobil temanmu itu." Khalisa tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Singgah (Terbit)
RandomPerjodohan antara gadis piatu modern dengan pemuda pilihan Ayahnya yang menyamar jadi seorang culun.