"Kirim, ya. Nanti saya transfer semua biaya yang dibutuhkan." Ucap Sina, berharap ada senyum yang terbit di wajah istrinya.
"Oke, Mas. Aku kirim nomor rekeningnya." Wajah Khalisa seakan meremehkan suaminya.
Selesai membereskan dapur, seperti malam-malam sebelumnya, Sina naik ke kamar yang terletak di lantai atas. Sedangkan Khalisa masuk ke kamar utama yang sudah beberapa hari belakangan membuatnya nyaman.
Di atas kasur, gawai Khalisa menyala. Ada panggilan dari Raisya.
"Waalaikumsalam. Ada apa sya?"
"Kesal gitu, suara mu?"
"Capek sama kesal itu beda, Sya," jawab Khalisa lirih.
"Lebih capek kerja atau kuliah?" tanya Raisya ditelepon.
"Sami mawon. Lebih parahnya... sebentar lagi aku kerja sekaligus kuliah," Khalisa melepas kerudung dan mulai rebahan di kasur.
"Beasiswa lagi?" Raisya penasaran.
"Nah, itu dia. Aku dibiayai Mas Sina. Aneh, kan... Entah dari mana asal-usulnya, kerjaannya apa... tiba-tiba menyanggupi biaya kuliahku," papar Khalisa.
"Namanya juga demi istri. Merogoh kocek, mungkin... punya banyak tabungan." Tebak Raisya.
"Terserah apapun itu, Sya. Yang penting halal. Aku ngantuk, besok banyak kerjaan lagi. Kita sambung kapan-kapan, ya." Suara Khalisa melemah, kekuatan penglihatannya sudah tidak sampai lima watt.
"Yowis... tidur. Aku matiin teleponnya, ya. Wassalam." Tutup Raisya dari seberang.
~~~
UIN Syarif Munawwaroh, gedungnya lebih menjulang dibanding kampus Khalisa di Jombang. Sasa sampai berdecak kagum mendapati setiap fasilitas yang ia temui di sana.
"Kampus aku mah, kalah." Bisik Sasa terkagum-kagum sambil menggerakkan tangannya di udara, saat memarkir sepeda motor.
"Yang penting sama-sama tempat menuntut ilmu, Sa." Kata Khalisa menanggapi.
"Iye juga, sih." Gumam Sasa pelan, membetulkan ikatan rambut serta ujung blus yang ia kenakan.
"Aku tinggal sebentar, ya. Kamu nunggu di kantin aja. Nanti kita ketemu di sana, Sa."
"Oke. Gampang, Lis. Good Luck ya my bestie luf luf!" Ucap Sasa memberi support dengan senyumnya yang lebar.
Sasa berjalan agak cepat menuju kantin besar milik Universitas. Ia memesan dua paket menu lunch lengkap dengan minum dan dessert.
Di Pertengahan makan, Khalisa menelponnya, "Gimana, udah beres?"
"Ribet, Sa. Jalur mandiri seleksinya ribet juga. Aku lanjut lewat online aja deh kayaknya. Kamu di kantin, di mananya sih?" Tanya Khalisa di tengah-tengah berisiknya suasana dalam telepon.
"Ini aku, lihat ke samping kiri pojok deh!" Jawab Sasa melambai-lambaikan tangan ke arah perempuan berhijab warna sage senada dengan gamisnya.
Khalisa menoleh ke kiri mencari temannya yang masih memanggil dengan kode. Saat hendak menyusul ke arah Sasa, seorang Dosen bertubuh tinggi dengan jas dan celana hitam, baju dalam berwarna putih rapi menghampirinya ramah.
"Dengan Mbak Khalisa wahidah Rahim?" dosen tersebut berdiri tegak persis di hadapan Khalisa nyaris tak berjarak.
Bau parfum dosen itu sangat khas dengan wajah menariknya yang terkesan manis dan memesona siapa pun wanita yang ia dekati.
"Bapak tahu nama saya dari mana, ya?" Khalisa sedikit bingung sambil memperhatikan dosen agresif di hadapannya.
"Dari... teman saya. Beliau minta tolong agar anda bisa masuk ke fakultas Dakwah di sini dengan mudah," Jawab lelaki itu sedikit ragu. Binar matanya mengunci semangat Khalisa yang mendadak mundur beberapa langkah.
"Oh, ya? Terima kasih, Pak. Perkenalkan, saya Khalisa istri dari Bapak Sina." Ucap Khalisa menangkup kedua tangan di dada, memberi penekanan dalam perkenalannya.
Laki-laki berstatus dosen muda di hadapannya melempar senyum antusias. Binar matanya mengingatkan Khalisa pada Rayhan. Namun, sesekali gesturnya jika diperhatikan lebih mirip dengan Abdullah Sina. Tidak mungkin juga dia suami Khalisa yang gentayangan di mana-mana. Menjelma dadakan jadi seorang dosen? Itu mustahil.
"Saya salah satu Dosen sastra Arab di fakultas sebelah. Nanti anda bisa temui Bapak Maliki di ruang Rektor, beliau yang akan menguji langsung mahasiswi jalur mandiri. Jangan lupa lunasi semua biaya tagihan personalnya dan mengisi formulir... lalu membawa kembali ini." Papar Dosen misterius itu, menyerahkan sebuah map hijau.
"Terima kasih, Pak. Mungkin saya besok baru bisa ke sini lagi. Berhubung saya juga ada pekerjaan lain, setelah makan siang harus sudah kembali ke tempat kerja." Jelas Khalisa yang mulai risih saat ditatap cukup lama.
"Semoga besok sukses, Mbak Khalisa!" Ucap Pak Dosen memantik semangat gadis itu.
"Terima kasih atas bantuan dan dukungan Bapak. Saya izin nemui teman, Pak." Pamit Khalisa begitu menemukan tempat duduk Sasa yang tengah menikmati lunch di pojok kantin.
Langkah Khalisa sedikit tergesa sambil menoleh ke belakang. Ternyata dosen muda tadi belum berhenti menatapnya sampai tiba di kursi duduk Sasa.
"Siapa, Lis?" tanya Sasa dengan polosnya.
"Dosen aneh. Untung dia gak minta nomor hape, tapi langsung menyarankan ke ruang rektor." Jawab Khalisa lirih.
"Maksud kamu?" Sasa masih belum paham.
"Jadi, dosen muda itu bilang... punya teman yang minta tolong untuk bantuin aku supaya lebih mudah masuk di kampus ini." Jelas Khalisa lebih sabar.
"Oh... terus kenapa dia senyum sok akrab gitu sama kamu, Lis?" Sasa makin penasaran.
"Nah, itu dia. Padahal aku sengaja ngenalin diri selengkap-lengkapnya... eh dia malah lebih tahu namaku. Ya, aku beritahu saja kalau aku istri Pak Sina." Khalisa mulai menyantap menu makan siangnya.
"Jangan-jangan dosen itu kenal kamu dari suamimu, Lis," tebak Sasa sebelum menyeruput jus nya.
Selang beberapa kursi, Dosen tadi menyusul duduk dan memesan menu makan siang sambil sesekali masih menoleh ke arah Khalisa dan temannya.
"Tapi, Lis... kayaknya dosen itu naksir deh sama kamu. Buktinya sampai sekarang dia masih menoleh kesini. Tatapannya itu loh," Sasa menyadarkan Khalisa yang tidak mengetahui target perhatian lelaki jarak beberapa kursi dari mereka.
"Aku malah ngerasa kayak Pak dosen itu sedang mengawasi kita. Bukan lagi naksir sama aku, Sa." Ujar Khalisa menanggapi, tetap berusaha tenang.
Notifikasi pesan di gawai Khalisa berdering. Perlahan tangannya merogoh tas di pangkuan dan menemukan gawai yang layarnya masih menyala. Ada transferan masuk ke rekening Khalisa dari suaminya.
"Kenapa, Lis?"
"Suamiku tau dari mana nominal yang dibutuhkan buat mendaftar di fakultas ini, ya?" Raut wajah Khalisa penuh tanya.
"Dikabari sama temannya itu mungkin," Sasa masih dengan sukanya menebak-nebak, sambil memperhatikan Khalisa mengisi formulir.
Setelah buru-buru menghabiskan makanan, Khalisa dan Sasa beranjak dari duduk. Keduanya sama-sama menuju kasir untuk membayar bill yang tertera.
Dosen tadi ikut bangkit dan antre pembayaran di kasir. Sasa menatap ragu pada orang di belakangnya, lalu menyikut Khalisa sambil memberi isyarat menggunakan mata agar segera menyelesaikan pembayaran.
Setelah selesai membayar, Khalisa menarik lengan Sasa supaya cepat berlalu meninggalkan kantin yang penuh sesak di penghujung jam makan siang.
"Tunggu sebentar!" Seru seorang dosen muda di dekat mereka.
Dosen itu menghampiri kedua gadis yang punya penampilan kontras. Satunya tertutup dan satu lagi dengan pakaian agak sedikit terbuka, tanpa hijab.
Langkah Khalisa dan Sasa terhenti merespon panggilan dari dosen agresif yang penampilannya terlihat berwibawa, tapi jangan-jangan aslinya seorang penggoda.
"Maaf, ada keperluan apa lagi, Pak?" Khalisa berusaha tenang.
Sasa menatap aneh pada dua manusia di sisinya. Dosen yang agresif dan perempuan berhijab yang menjaga jarak.
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Singgah (Terbit)
RandomPerjodohan antara gadis piatu modern dengan pemuda pilihan Ayahnya yang menyamar jadi seorang culun.