Mozaik 3

132 18 2
                                    


Khalisa mempercepat langkah mengimbangi suaminya yang berjalan lebih dulu dengan banyak beban barang bawaan.

Hari semakin gelap, kedua pengantin baru itu memasuki kawasan dusun yang terdapat banyak rumah susun. Gang nya sedikit becek hingga memaksa Khalisa agak menarik ujung gamisnya yang nyaris menyeret.

Setelah kejadian nada dering di kereta, keduanya tidak banyak bicara seperti semula. Khalisa menurut memasuki sebuah rumah tua bertingkat yang nampaknya sudah lama tak berpenghuni.

"Di atas ada satu kamar, di bawah punya tiga kamar. Kamu mau menempati yang mana?" Dahi Khalisa berkerut bingung harus menjawab apa.

"Kamu di bawah saja, ya. Di atas masih kotor, belum saya bersihkan. Saya biasanya tinggal di bawah." Terang Sina disambut anggukan senyum oleh istrinya.

Belum sempat menanyakan di mana keluarga Sina termasuk Ayah Ibunya... lelaki itu terlanjur naik ke atas meninggalkan Khalisa yang masih kebingungan.

Rumah tua yang tidak terlalu banyak perabot, tapi semua yang dibutuhkan sudah lengkap untuk Khalisa. Di pojok ruang tamu terdapat sebuah piano tua yang tertutup sepenuhnya dengan taplak, sedangkan di atasnya terdapat mushaf dan beberapa kitab kuning yang tersusun rapi. Lebih mirip rumah horor andai hanya Sina yang menempati. Rumah yang sama misteriusnya dengan sang penghuni.

"Saya masukkan barang-barang kamu ke kamar utama, ya. Di kamar itu sudah lengkap ada kamar mandi dan televisi juga." Suara Sina kembali muncul dari anak tangga, kemudian menyeret koper dan beberapa dus berisi barang milik istrinya.

Khalisa mengangguk setuju. Teringat pesan sang Ayah, "Sekarang, tanggung jawab Ayah sudah berpindah pada Sina, Nak. Artinya kamu harus patuh pada suami dan layani Mas Sina mu itu dengan sebaik-baiknya." Tak terasa air mata Khalisa menitik menatap langkah Sina yang mengantarkannya ke kamar utama.

"Makasih, ya, Mas." Ucap Khalisa menyungging senyum haru.

Sina mengangguk sebelum menjelaskan sesuatu. Mata pemuda itu menatap Khalisa penuh arti.


"Keluarga kamu dimana,Mas?" Tanya gadis itu penasaran.


"Saya pamit ke atas mau bersih-bersih. Kalau kamu butuh sesuatu tinggal telepon saja." Tangan pemuda itu menunjuk ke arah telepon rumah yang saling terhubung, "Besok insyaAllah kita akan berkunjung ke rumah keluarga." Kata Sina sambil melangkah pelan ke luar kamar.

"Kalau lapar gimana, Mas?" Pertanyaan Khalisa kembali menghentikan langkah suaminya.

"Sebelum kita menyetok bahan masakan di kulkas, kamu bisa order makanan via aplikasi dulu sementara. Di sini sama saja seperti di Desamu. Ada ojol makanan juga." Jelas Sina panjang lebar. "Oh iya, ini uangnya." Katanya lagi sambil menyerahkan tujuh lembaran uang lima puluh ribu yang diambil dari saku celananya.

Khalisa menerima nafkah pertama dari suaminya setelah beberapa hari pernikahan. Jumlahnya tak jauh beda dari pemberian mendiang Ayah semasa hidup.

"Nanti Lisa siapin juga makanan buat Mas di dapur, ya." Khalisa mengeraskan suara karena suaminya buru-buru menutup pintu kamar dan berlalu pergi.

Setelah membersihkan diri, gadis anggun di kamar barunya sibuk mengeringkan rambut dengan hair dryer yang sudah tersedia. Tidak berapa lama, layar gawai yang tengah di cas itu menyala. Tertera nama Diviya di sana. Khalisa bergegas menjawab panggilan.

Jodoh Singgah (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang