2

21 15 14
                                    

Takut jika sampai ayahnya terbangun, dengan cepat Regan menarik tangan Elis dan membawanya ke kamarnya.

"Regan ...."

Rasanya Elis tidak tahu ingin berkata apa. Ia bingung dengan kejadian tiba-tiba yang dialami oleh lelaki di hadapannya itu. Setahunya, keluarga ini tidak pernah memiliki musuh, bisnis yang dijalankan selama puluhan tahun ini bahkan hampir tidak memiliki masalah.

"Elis, sebenarnya ak-"

"Kamu punya masalah apa?" potong Elis menatap Regan tanpa ekspresi.

"Sst ... jangan berisik," ucap Regan membekap mulut Elis, lalu mencondongkan tubuhnya dan berbisik, "kamu bisa bantuin aku, 'kan?"

Tak ada jawaban selain mengangguk.

"Bagus. Dengan begitu aku bisa pergi dengan tenang."

Ucapan Regan seketika membuat mata Elis kembali terbelalak kaget. Pikiran buruknya kali tidak bisa lagi dihindari, mengingat surat ancaman tadi dengan kalimat Regan barusan.

Elis menggeleng cepat, "jangan melakukan apa pun, bodoh!"

"Jangan mengataiku bodoh jika kau belum tahu masalahnya!" desis Regan menatap marah pada Elis.

Tatapan itu belum pernah Elis lihat dari seorang Regan, lelaki lembut dan penyayang. Akan tetapi, hari jni ia seperti melihat sosok yang lain di depannya. Dia bukan Regan yang selama ini dikenalnya.

Tanpa mengindahkan pandangan Elis dan segala penilaian tentangnya, ia memilih untuk meraih koper dari atas lemarinya, membantingnya ke tempat tidur. Ia segera memasukkan asal, oh bukan, lebih tepatnya menyesaki kopernya beberapa pakaian setelah membukanya dengan kasar. Dan, hal itu semua tidak luput dari perhatian perempuan yang masih berdiri kaku di tempatnya.

Hingga Regan selesai mengemas pakaiannya, Elis belum juga bergerak meninggalkan walau sejengkal. Ia tetap mengamati dan menunggu apa yang akan dilakukan lelaki itu selanjutnya.

Berbeda dengan Regan, ia justru tidak peduli pada Elis dan memang tak ingin peduli. Yang ia pikirkan saat ini adalah ayahnya, satu-satunya keluarga yang ia punya. Jika sampai terjadi sesuatu, tentu itu semua karena dirinya yang tidak mendengarkan perintah orang misterius itu.

"Elis, please ..." ucap Regan dengan tatapan memohon penuh harap. "Kumohon bantu aku dengan menjaga papa di sini, dan kabarkan setiap hari padaku."

Tanpa suara, Elis kembali mengangguk mantap seolah meyakinkan Regan bahwa ia memang bisa dipercaya dan diandalkan.

Setelahnya, Regan menurungkan koper dan menariknya keluar kamar, tentu saja diikuti Elis dari belakang. Betapa perempuan itu ingin bertanya dan menuntut penjelasan lebih, tetapi apa boleh buat, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat.

Dari lantai tiga, mereka terus menuruni tangga tanpa percakapan apa pun. Hanya suara alas sepatu yang menumbuk lantai yang menemani langkah hingga keduanya tiba di lantai utama.

"Mas Regan?" sapa salah satu pengawal yang baru saja kembali dari dapur.

Regan terpaksa menghentikan langkahnya. Berusaha mengontrol ekspresi agar tak terlalu tampak wajah air muka tegangnya.

"Mau ke mana tengah malam begini?" Lanjut pengawal bertanya.

"Ada urusan mendadak di luar kota," jawabnya singkat diiringi seulas senyum seperti biasa.

Dalam situasi seperti ini biasanya Elis sangat pandai menggunakan akalnya, dan terbukti saat ia tiba-tiba meraih lengan Regan dan memasang tatapan memohon.

"Ayo Regan, kita harus berangkat sekarang. Aku takut kemaleman di jalan."

Regan mengangguk, lalu kembali berpesan ke pengawal ayahnya, "jaga ayah. Mungkin urusanku ini sedikit lebih lama. Tadi aku mencarinya untuk pamit, tapi aku tidak tega mengganggu tidurnya."

"Baik, Mas."

Ia harus terus berucap syukur, sepertinya malam ini semuanya akan berjalan sesuai rencana. Semoga keputusan yang diambil itu tidak salah. Harapnya dalam hati sebelum ia benar-benar melangkahkan kaki ke luar rumah.

Rasanya memang sedikit berat, ini adalah kali pertama ia akan berpisah jauh dari sang ayah untuk waktu yang ia sendiri belum tahu sampai kapan. Namun, kembali hatinya menguatkannya. Tidak mengapa, bukankah itu semua ia lakukan untuk kebaikan ayahnya.

Dengan berat hati, ia terpaksa menyeret langkah untuk mengeluarkan kembali mobilnya dari garasi. Sementara Elis terus menatapnya khawatir sembari merapalkan do'a keselamatan untuk keluarga ini.

•○°•○°

"Aku penasaran, apa yang sudah Kak Sean lakukan malam ini?" tanya Erika sembari menopang dagu dengan kedua tangannya.

Akan tetapi, sepertinya lelaki di depannya itu tidak merasa terganggu sama sekali. Ia tetap mengeluarkan pakaian dan merapikannya kembali sebelum memasukkan ke dalam lemari.

Sedari tadi ia menunggu Sean untuk mengatakan apa yang sudah ia lakukannya di luar sana. Namun sampai berjam lamanya, ia masih saja dibuat penasaran. Apa sekarang pakaian itu lebih penting dari aku? Pikirnya.

Entah bagaimana bentuk ranjang sang kakak sekarang, berapa kali ia terus berguling ke kiri dan ke kana seolah sengaja mengacak tempat tidur lelaki yang terbiasa rapi dan bersih itu. Sekali lagi ia menatap sang kakak dengan bertopang dagu, kedua alisnya pun sengaja ia naik turunkan untuk menggodanya.

"Hei ... berhenti bersikap seperti itu di depan lelaki. Itu sangat menggemaskan kau tau," ujar Sean seraya mengacak habis rambut adiknya.

"Kalau begitu cepat katakan, apa yang sudah Kak Sean lakukan?" desaknya, kali ini ia memasang wajah cemberut.

Sean hanya tersenyum. Ia menarik bantal dan ikut merebahkan dirinya di samping Erika.

Baru saja kepalanya menyentuh bantal, tiba-tiba saja bantal yang lain sudah mengenai wajahnya dengan kasar. Ya, siapa lagi kalau bukan Erika pelakunya. Ia sengaja memukul wajah sang kakak menggunakan bantal dengan sangat keras. Ia begitu kesal dengan lelaki itu.

"Hei, kau sengaja menyakitiku?" teriak Sean dengan cepat mendudukkan dirinya menatap Erika yang sudah berjalan cepat ke arah pintu.

Tanpa suara, ia meninggalkan kamar Sean dengan langkah cepat, lalu membanting pintu dengan kasar hingga menimbulkan suara dentuman. Sean tahu betul, Erika pasti sedang marah, namun ia tak perlu khawatir akan hal itu. Semarah apa pun perempuan itu, tidak akan bertahan hingga satu jam.

Sepeninggalan Erika, Sean baru berdiri untuk mengunci pintu lalu merapikan tempat tidurnya sebelum kembali berbaring di atasnya. Ia memang tidak menyukai dan sangat menghindari tempat yang kotor dan berantakan. Berbanding terbalik dengan Erika yang paling senang menghambur buku-bukunya di atas tempat tidur, hingga tidak jarang ia tertidur bersama buku.

Sementara di kamar Erika, ia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Malam ini ia benar-benar dibuat kesal oleh Sean. Namun, seketika ia menyeringai setelah terdiam beberapa detik. Entah pikiran apa lagi yang terlintas di benaknya, tapi sepertinya itu cukup menyenangkan untuk dirinya sendiri.

"Keluar sebentar mungkin tidak mengapa." Ia bergumam seraya bangkit dari posisi tidurnya.

Jaket dan jeans hitam, topi, masker dan sepatu sudah disiapkan. Secepat kilat ia mengenakan semuanya, terakhir, ia meraih benda pintar di atas nakas dan memasukkannya ke saku jaket sebelum berjalan memgendap keluar menuruni anak tangga.

Bersyukur sekali, ayahnya tidak punya pengawal atau bahkan seorang satpam penjaga gerbang hingga ia cukup mudah untuk pergi kapan pun ia mau.

Hanya berjalan kaki. Sepanjang jalan ia terus melangkah tanpa merasa khawatir sedikit pun. Ia selalu merasa yakin dan mengandalkan takdir baik berpihak kepadanya.

Selain pemberani, ia memang dikenal sebagai gadis yang pintar, namun kini ia telah membuat seseorang tersenyum manis di belakang sana. Seseorang yang sedari tadi diam-diam mengikutinya.

Sebuah belati dengan ujung yang mengkilap diterpa cahaya remang, kini tengah mengintai kulit putih mulusnya. Namun masih dengan langkah kaki yang tenang ia terus menyusuri koridor jalan yang semakin berangsur sunyi. Entah ke mana tujuannya, tak ada yang tahu selain dirinya sendiri. Yang pasti pemiliki belati itu hanya menunggu kesempatan bagus yang tidak akan ia lewatkan.

Alhamdulillah hari kedua
1144 kata😉

Takdir CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang