"Yang menelepon kakak itu, Yowan, teman Erika. Dia ingin memberitahu kakak, tapi aku melarangnya," jelas Erika berharap Sean memang tidak melakukan apa pun padanya. "Benar kan, kak Sean gak melakukan apa pun padanya?"
Sean terdiam, tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Ia ingin menjelaskan semuanya tetapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat, percuma menjelaskannya sekarang tidak akan ada yang percaya padanya.
"Kak, jawab Erika!"
"Iya, kakak menemuinya. Orang menelepon malam itu, tapi ..." jawab Sean ragu menatap Erika dengan sedih. Meski sepersekian detik wajahnya kembali datar.
Erika menelan ludahnya dengan susah payah, walau hanya beberapa detik, tetapi ia berhasil melihat raut kesedihan yang terpancar dari mata sang kakak.
Jantung Erika berdegup kecang ketika melihat perubahan ekspresi Sean tadi. Ia takut apa yang dipikirkannya saat ini benar.
"Jangan bilang Kak Sean-"
"Temanmu sudah tiada."
Sean memotong ucapan Erika dengan sorot mata yang sulit diartikan. Sementara mata Erika kini mulai berair menatap ke arah Sean tidak percaya. Berulang kali ia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri, namun tetap saja rasa sesak itu masih memenuhi dadanya hingga tidak sanggup lagi mengatakan apa pun.
Setelah beberapa menit kedua kakak beradik itu terdiam, sang ayah dengan wajah murkanya tiba-tiba membuka pintu dengan kasar. Mendekati brangkar Erika dan menampar Sean dengan keras tepat saat ia berdiri di hadapannya hingga membuat wajah putranya itu berpaling ke kanan. Bekas tangan itu tercetak jelas di wajah tampan Sean, Erika kaget sekaligus kasihan melihat sang kakak mendapat perlakuan seperti itu. Tetapi ia memilih diam karena rasa kecewanya.
"Papah gak pernah mengajari kamu menjadi pembunuh, Sean," bentak Hendru membuat Sean terpejam.
Tak ingin tinggal lebih lama lagi, ia memilih pergi meninggalkan ruangan itu.
"Kak Sean," panggil Erika, namun ia seperti menulikan telinganya. Tak menoleh sedikit pun hingga ia menghilang di balik pintu.
"Pah, Kak Sean." Erika menangis.
"Sudah! Gak usah pikirkan kakakmu itu, biarkan saja dia melakukan apa pun sesukanya, papah ga peduli sekali pun dia dibunuh."
Erika menggeleng mendengar ucapan sang ayah dengan air mata yang sudah berderai. Meski ia kecewa, harusnya ia tidak perlu berkata seperti itu. Bagaimana pun, Sean melakukan itu pasti karena rasa sayang teramat padanya. Ini bukan sepenuhnya salah Sean, tetapi juga dirinya. Andai saja malam itu ia tidak nekat keluar rumah, dan jika saja ia membiarkan Yowan melaporkan yang sebenarnya pada kakaknya, mungkin kejadiannya tidak akan serumit ini.
Menatap sinis ke ayahnya, "papah memang jahat, gak perduli sama Kak Sean," ucap Erika lalu berbalik membelakangi ayahnya.
Hendru hanya bisa menarik napas melihat kelakuan putrinya itu. Membiarkan Erika marah padanya untuk saat ini.
Sementara di koridor rumah sakit, langkah Sean semakin terburu-buru menuju tempat mobilnya terparkir. Ia sudah berniat akan kembali menemui Zaky.
•○°•○°
Setelah menemui Sean, ia kembali melanjutkan kerjaan yang sempat tertunda. Berusaha menyelesaikan sebelum jam dua belas malam. Ia tidak lagi peduli pada makan malam, perutnya serasa kenyang saat mendapat tugas baru itu -ralat, lebih tepatnya saat ia mendengar kabar Erika diserang seseorang.
Satu per satu map itu berpindah tempat dari sisi kanan ke sisi kirinya. Sisi kanan adalah tempat map bertumpuk sebelum diperiksa, sementara tumpukan map di sisi kirinya adalah dokumen yang selesai ditandatangani.
"Syukurlah, akhirnya selesai lebih cepat dari waktu yang kuperkirakan," gumamnya seraya melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya.
Ia berdiri meraih jas yang tersampir di sandaran kursi dan mengenakannya kembali sebelum melangkah keluar. Bukan hanya pekerjaan, tetapi juga penampilan rapih memang selalu menjadi ciri khas pria satu ini. Selain keduanya, ia pun terlalu disiplin soal waktu.
Dengan langkah yang tenang, ia memasuki lift. Masih terisa satu jam lagi, ia masih sempat untuk mengisi perut sebentar sebelum menyiapkan semuanya.
Di dalam resto, ia hanya memesan seporsi sandwich dan cappucino hangat. Seorang Hassan tidak suka terburu-buru soal makanan, terlebih lagi tidak mau mubasir. Baginya salah satu kejahatan yang kebanyakan manusia sering lakukan adalah membuang makanan. Mengapa sampai ia labeli sebuah kejahatan? Karena semua sudah tahu, masih banyak orang di luar sana yang tidak bisa mendapatkan makanan dalam sehari, tetapi mereka justru membuangnya setelah hanya mencicipi sedikit.
Terakhir, ia menyesap cappucinonya selagi masih hangat. Membersihkan mulutnya sebelum memanggil waiters yang melayaninya tadi.
"Sisanya buat kamu saja," ucapnya seraya meletakkan dua lembar rupiah yang bernilai seratus ribu ke atas meja.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama," balasnya tersenyum, lalu ia berdiri memasukkan dompet ke dalam saku celana.
Sementara pelayan di depannya masih membersihkan bekas makanannya.
"Cintai pekerjaanmu jika ingin menemukan kesenangan di dalamnya," pesannya sebelum benar-benar meninggalkan resto itu.
"Lelaki yang baik, semoga aku bisa membalas kebaikannya suatu saat nanti." Ia bergumam penuh harap menatap kepergian lelaki baik hati itu.
•○°•○°
Beberapa kali ia terus mencoba menghubungi nomor Sean, namun hingga detik ini belum juga ada tanda si pemilik nomor akan menjawabnya.
Regan mulai kesal, sebelum akhirnya sebuah panggilan mengembalikan moodnya.
"Akhirnya lo telepon jug-"
"Hallo, assalamu'alaikum..." sapa seseorang dari seberang telepon memotong ucapannya.
"Waalaikumsalam."
Regan bingung, tidak tahu harus mengatakan apa bukankah ini nomor Sean? Tetapi mengapa orang lain yang menjawabnya.
"Sorry, who is this with?" tanyanya saat Regan masih terdiam setelah menjawab ucapan salamnya, dan tak mengatakan apa pun. (Maaf, ini dengan siapa?)
"Ekhm ... This is Sean's number, right? And, who are you?" Bukannya menjawab, Regan justru balik bertanya. (Ini nomor Sean, bukan? Dan, kamu siapa?)
"Right, this is number Mr. Sean, but ... Mr. Sean is not in place." (Benar, ini nomor Tuan Sean, tapi ... Tuan Sean sedang tidak berada di tempat)
"Who are you? Sean where? And why can Sean's number be with you?" (Kamu siapa? Sean kemana? Dan kenapa bisa nomor Sean sama anda?)
"I am the secretary. He returned to Indonesia how many days ago and this has become the company's business number. So you won't bring it because he doesn't want to be disturbed while in Indonesia," jelas sang sekertaris. (Saya sekertarisnya. Beliau balik ke Indonesia berapa hari yang lalu dan ini sudah dijadikan nomor bisnis perusahaan. Jadi Tuan tidak akan membawanya karena beliau tidak ingin diganggu selama di Indonesia)
"Okay, thank you," ucap Regan sebelum mengakhiri panggilannya. (Oke, terima kasih)
Ia kembali mengembuskan napas lelah. Harapannya tinggal Sean, tapi ternyata sahabatnya itu juga sedang tidak di sini. Ia benar-benar merasa sendiri dan terbuang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta
Mystery / ThrillerPada akhirnya Erika akan bertemu dengan apa yang ditakdirkan untuknya. Sekeras apa pun ia menghindar.