5

13 12 1
                                    

"Kamu hati-hati ya, jaga diri di sana," pesan Elis seraya memeluk tubuh tegap lelaki itu.

Regan mengangguk, lalu membalas pelukan Elis. Hanya sebentar kemudian ia dengan cepat melepasnya saat pengumuman keberangkatan terdengar kembali diumumkan.

Awalnya memang terasa sangat berat membuat keputusan, tetapi ia sudah bertekad jika ia sampai di tempat tujuan, ia akan mencari tahu siapa di balik ini semua, dan akan menyusun sendiri rencana selanjutnya.

Sementara Elis. Jelas sekali ekspresi perempuan itu tidak suka dengan kehadiran para lelaki misterius ini. Ingin rasanya segera pergi, namun di sisi lain ia pun ingin melihat Regan pergi terlbih dahulu.

Setelah memastikan Regan sudah berangkat, ia segera pulang ke rumah dengan membawa mobil pemuda itu. Dari rumah, ia baru memikirkan apa yang akan ia katakan pada ayah Regan jika sampai bertanya padanya.

Saat tengah memikirkan Regan, tiba-tiba ia teringat pada sang Ayah. Mengapa tidak meminta bantuannya saja.

Tanpa menunggu lama, ia sudah menempelkan ponselnya tepat di samping telinga menunggu panggilan itu terjawab. Namun beberapa kali ia mencobanya, tetap saja lelaki tua itu tidak ingin menjawab teleponnya.

"Huh, sesibuk apa sih? Apa dia tidak merindukan anaknya sedikit pun?" gerutunya sambil terus mencoba menghubungi nomor yang sama.

"Papa!" rajuk Elis cemberut saat telepon sudah terhubung.

"Wat is er schat?" tanyanya saat menjawab panggilan dari sang anak. (Ada apa, sayang?)

"Pa, Regan," adunya pada sang papa.

Alisnya mengerut meski dengan bibir yang tersenyum. Akan tetapi, mendengar suara putrinya yang sedikit panik dari seberang telepon, ia tahu sesuatu sedang terjadi di sana.

"Kenapa dengan Regan?" Ia mencoba bertanya dengan serius seraya menegakkan posisi duduknya.

"Regan dalam masalah besar."

Semakin penasaran saja. Ia menunggu Elis melanjutkan kalimatnya, semakin yakin bahwa ada yang tidak beres di sana.

"Malam ini Regan ke Maroko-"

"Maroko?" Ia menyela ucapan putrinya dan bertanya dengan heran.

Elis menganggukkan kepala dengan cepat seolah ia bercerita di sang ayah dan bisa melihatnya.

"Regan diancam oleh seseorang, tapi Elis ga tau siapa. Regan dan Om Tara pun gak tau," jedanya sembari mengingat isi surat yang diterima oleh Regan di kamar ayahnya. "Katanya, kalau dia gak lakuin malam ini juga, maka Om Tara yang akan tanggung akibatnya," lanjutnya mengadu.

Sang ayah hanya terus mengangguk mencoba mencerna ucapan putrinya barusan. Jujur saja ia kaget mendengar ini semua mengingat Tara, sahabatnya itu tidak pernah sekali pun membuat masalah. Ia selalu menghindari sebuah permusuhan. Jika pun lawan bisnisnya membuat kesalahan yang bisa menimbulkan perpecahan, maka tidak perlu berpikir lama ia yang akan meminta maaf lebih dulu.

"Pa... Papa masih di sana, kan?" Suara Elis kembali menyadarkannya.

"Iya, Sayang. Kamu tenang dulu ya, besok papa akan hubungi dan menanyakan langsung ke-"

"Jangan, Pa!" Dengan cepat Elis memotong ucapan ayahnya sembari menggeleng, ia tahu siapa yang papanya maksud. Pasti ia akan menghubungi ayah Regan, sementara lelaki sudah berpesan agar sebisa mungkin kejadian ini tidak diketahui oleh ayahnya.

"Regan gak mau kalau sampai papanya tau masalah ini. Pokoknya kita harus bantu Regan kembali ke Indonesia tanpa sepengetahuan orang itu, Pa."

Bram mengangguk paham. Setelah memutus sambungan telepon tak ingin menunda lagi,  ia langsung memanggil orang kepercayaannya.

•○°•○°

Sebuah tamparan keras baru saja mendarat di pipinya hingga menimbulkan bekas kemerahan di sana. Ia telah membuat ayahnya benar-benar kecewa padanya hingga tangan itu lepas kendali mengenainya.

"Kamu memang tidak pernah becus menjaganya," bentak Hendru di depan Sean sebelum meninggalkannya.

Mata lelaki itu memerah menahan emosi. Rasanya ia ingin membalas tamparan itu, namun sebisa mungkin ia menahan dirinya.

'Ingat, tujuanmu ke sini untuk Erika,' katanya dalam hati mencoba menguatkan dirinya sendiri.

Jika bukan karena Erika, ia memang sudah tak ingin lagi kembali ke Indonesia. Sejak sang ibu meninggal dunia, papanya pun sering berlaku kasar padanya entah apa yang menjadi penyebab itu semua.

Ia berbalik menatap Erika yang masih memejamkan mata dengan tenang di pembaringan sana. Ia menyesal, mengapa semalam ia bisa kecolongan dan tidak tahu jika adiknya itu keluar tanpa izinnya.

Haruskah ia menyalahkan diri sendiri? Tetapi itu semua tidak akan bisa mengembalikan keadaan, hal itu sudah terjadi, dan kini hanya tinggal penyesalan dan kekhawatiran yang memenuhi perasaannya.

Setelah mendengar pernyataan dokrer barusan yang mengharuskan Erika menjalani operasi, rasa takut seolah telah bersarang dalam kepalanya. Berbagai hal buru seakan berlomba memenuhi imajinasinya. Bagaimana jika mata indah Erika tidak terbuka lagi? Bagaimana jika operasinya gagal, dan bagaimana jika ... ia menggeleng cepat membuang semua pikiran buruk itu. Kembali ia bisikkan dalak hatinya, bahwa Erika gadis yang kuat, Erika akan baik-baik saja.

Tangannya mengepal kuat dikedua sisi tubuhnya membuat buku-buku jarinya memutih. Setelah ini, ia bertekad membawa sang adik bersamanya ke Maroko nanti. Dengan atau tanpa persetujuan ayahnya.

•○°•○°

"Stuur Vanderijk daarheen!" katanya setelah menjelaskan kepada orang kepercayaannya itu. (Kirim Vanderijk ke sana!)

"Goede, Meneer," balasnya dengan mantap. (Baik, Tuan)

Lama pengawal itu berdiri menunggu perintah selanjutnya. Ia memikirkan dalam lamunanya, ada urusan apa tuannya di Maroko sana. Ia terus diam menunggu apakah ia harus memanggil Venaderijk untuk menghadap tuannya atau tidak perlu. Ia terus termenung hingga bentakan kembali menggema di ruangan itu.

"Onmiddellijk!" (Segera)

Ia tersentak sebelum akhirnya pamit untuk menghubungi pemilik nama yang baru saja diberi tugas dadakan oleh tuan mereka.

Tanpa mengucap satu kata lagi, kini tubuhnya telah hilang di balik pintu kaca sana.

"Let of hem," pesannya setelah menjelaskan tugas yang diberikan kepada beberapa orangnya yang berbaris di depan. (Awasi dia)

"Goede, Meneer," jawabnya mantap. (Baik, Tuan?)

Ternyata Vanderijk harus pergi sendiri. Padahal ia sudah berharap akan disatukan lagi oleh tim berikutnya.

"Zorg voor mija dochter," pesan sang ayah singkat,  yang terlihat begitu khawatir terhadap putrinya meski ia telah berusaha menyembunyikan raut kesedihan di wajahnya. (Jaga putriku)

Sementara di tempat lain, seorang pemuda baru saja tiba di bandara Mohammed V Casablangka. Setelah mendapatkan tempat tidur untuk malam ini, ia akan memulai dan menyusun rencana sendiri.

"Ich brauche deine hilfe," katanya saat telepon sudah tersambung. (Aku butuh bantuammu)

"Sag es einfach." (Katakan saja)

"Ich bin in Marokko." (Aku ada di Maroko)

Seketika suara tawa pecah dari seberang teleopon sana. Sepertinya orang itu tidak percaya dengan apa yang Regan bilang barusan.

Setelah tawanya redah dan tidak mendapat tanggapan dari seberang sana, Regan kembali melanjutkan.

"Was soll ich tun?" (Apa yang harus aku lakukan)

》》》 Alhamdulillah untuk hari ke-5 《《《

Jumlah kata 1008

Takdir CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang