8

4 3 0
                                    

Wajahnya telihat merah padam pertanda ia sedang menahan amarah. Dengan langkah buru-buru ia menghampiri mobil yang sedari tadi sudah terparkir di depan menunggunya.

Ia menutup pintu dengan kasar, hingga menimbulkan suara dentuman yang membuat sang supir tersentak.

"Jalan!" Perintahnya sambil membuka ponsel. Ia mencari kontak seseorang yang akan ia temui siang ini juga.

"Temui aku di apartemen, dua puluh menit lagi," katanya tanpa basa-basi setelah memastikan telepon sudah tersambung. Dan, ia pun mengakhirinya tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya di seberang sana.

Sementara di tempat lain, seseorang yang baru saja meletakkan kembali ponselnya merasa sangat kesal. Ia diminta untuk bertemu tanpa menjelaskan tujuannya.

"Apa dia pikir aku ini pengangguran, hah?" gerutunya sembari mengenakan kembali jasnya, lalu menyambar kunci mobil yang sebelumnya ia letakkan di atas meja.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, sementara kerjaan yang harus diselesaikan hari ini masih menumpuk dan ia pun belum sempat makan malam. Akan tetapi panggilan dari teman keparatnya itu pun tidak akan pernah bisa ia tolak.

Kakinya menginjak gas tanpa perasaan, menyalip semua kendaraan yang mencoba menghalangi jalannya. Satu hal yang ada dalam pikirannya, tidak sabar ingin bertemu teman lamanya itu. Ia penasaran dengan wajahnya yang sekarang. Apakah masih tetap tampan dan dingin seperti dulu?

Hanya beberapa menit, kini ia sudah memarkir kendaraan roda empat super cepatnya itu tepat di samping mobil Sean. Tanpa memedulikan keadaan sekitarnya, ia melangkah memasuki lift yang akan membawanya tepat ke depan pintu kamar.

"Kau pikir aku pengangguran? Seenaknya saja meminta bertemu tanpa memikirkan waktu dan kerjaanku," protesnya seraya membuka pintu dengan kasar dan berjalanmenghampiri seseorang yang tengah duduk membelaknginya.

Sean memutar kursinya seraya menoleh ke sumber suara dengan senyum yang masih sama dinginnya seperti dirinya. Ia menautkan kedua alisnya mendapati lelaki si tukang protes itu sudah berdiri di depannya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sean tersenyum seraya bangkit dari duduknya, lalu sesuatu yang tak terduga pun terjadi, sepersekian detik tangannya sudah mendarat ke atas kepala lelaki itu dengan keras.

"Akh," pekiknya. "Hei, apa yang kau lakukan?" tanyanya seraya mengusap kasar kepalanya.

Sean tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. Ternyata ia masih sama bodohnya.

"Ternyata kau masih saja sebodoh dulu," ledeknya lalu berjalan menuju ke sofa yang ada di ruangan itu.

"Kenapa kau selalu mengataiku bodoh, hah? Kupikir kau sudah berubah setelah tinggal di Maroko." Dengan kesal ia duduk di samping Sean.

Sean menaikkan alisnya, tersenyum mengejek. "Oh Hassan, sahabatku ternyaga kau masih tak mau membalas?"

Hassan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara menghadap Sean. "Tidak semua perbuatan itu harus dibalas, Sean," katanya mengingatkan.

"Gak. Semua perbuatan memang harus mendapatkan balasan," balas Sean tak terima dengan pendapat Hassan.

Gantian, kini alis Hassan yang merengut. Ia menggeleng tidak membenarkan ucapan Sean berusan. Bagi dia perbuatan yang bisa dibalas itu hanyalah perbuatan baik, bukan untuk yang buruk seperti yang Sean lakukan padanya tadi.

Hassan menepuk pundak Sean, ia paham sahabatnya iu oasti sedang berada dalam masalah. Terlihat dari air muka dan caranya berbicara.

"Kamu adalah masalah apa sampai memintaku bertemu di tempat ini?"

"Erika diserang seseorang," jawabnya singkat.

Mendengar nama Erika, Hassan berpikir sejenak mencoba mengingat-ingat adik perempuannya itu. Tangannya mengepal kuat.

"Siapa pun yang berani mengusik Erika, akan berhadapan dengannya." Ia bergumam namum masih dapat didengar oleh Sean.

"Aku butuh bantuanmu untuk menemukan orang itu." Sean bangkit dari duduknya dengan kasar membuka lemari yang ada di depan mereka.

Mengambil sebuah belati lalu melemparnya asal ke arah Hassan. Syukur refleks lelaki itu sangat baik. Menghindari serangan Sean yang mendadak seperti tadi bukanlah sesuatu yang rumit

"Kau boleh gunakan itu untuk berburu mangsa," katanya seraya melangkah ke tempat semula. "Pastikan yang kau bawa hanya kepalannya."

Belum sempat Hassan membalas ucapannya, ponsel Sean sudah lebih dulu berdering menampilka  sederet nomor yang membuat Sean segera menjawabnya.

"Ada apa?" Sean bahkan tidak membiarkan si penelepon menyapanya.

"Nona Eriksa sudah sadar, dari ta-"

"Aku segera ke sana," balasnya dengan cepat memotong ucapan perawat di seberang telepon sana.

•○°•○°

"Kau ke mana? Sudah dua malam ayah mencarimu."

Suara tegas itu memenuhi gendang telinganya. Ia merindukan ayahnya yang selalu memberinya perhatian.

"Aku ke Maroko, Yah," jawabnya sambil memikirkan kalimat apa yang akan ia ucapkan selanjutnya untuk menutupi kebohongannya.

"Maroko?"

"Ya, tiba-tiba saja teman lama memintaku berlibur ke sini."

"Maksudmu Sean? Kamu sudah bertemu dengannya?"

Suara ayahnya semakin membuatnya tercekat. Ia tidak tahu harus berakata apa lagi untuk kebohongan sslanjutnya. Dan, sampai kapan ia akan terus berbohong seperti ini. Ayahnya terus berharap putranya selalu baik-baik aaja di luar sana. Sementara ia sendiri melakukan hal itu hanya agar ayahnya baik-baik sja.

Ia masih terdiam, bahkan setelah telepon tertutup ia masih juga memikirkan nasibnya ke depan. Ia saja tidak tahu sampai kapan akan berada di sana.

Cukup lama ia biarkan dirinya tenggelam dalam lamumannya hingga tiba-tiba ia teringat dengan permataan ayahnya barusan.

"Apa benar Sean berada di sini?" gumamnya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera meraih ponselnya mencari nama kontak seseorang yang harusnya ia hubungi sejak pertam kali berada di sini. Dengan begitu ia tidak harus merasa terlantar di tempat ini.

Namun belum sempat ia menelepon nomor itu, nama Elis sudah tertera di layar ponselnya.

"Hallo, Regan? Ya ampun, kamu dari mana saja aku sampai pan-"

"Ada apa? Aku sedang sibuk." Suara dingin Regan menyela ucapannya membuatnya terdiam di seberang telepon sana.

"Regan ...." cicitnya.

"Kalau gak penting, sudah dulu, Lis. Aku sedang ingin bertemu seseorang," katanya dan langsung mematikan sambungan telepon.

Rasanya ia bertambah kesal saat nomor yang dihubunginya tidak menjawab teleponnya. Sesibuk itukah dirinya sampai harus mengabaikan banyak panggilan.

"Akh... saat lagi dibutuhkan saja semua menjauh dan menghilang."

Ia terus menggerutu sembari memaksa otaknya untuk berpikir keras menemukan solusi yang lain. Jika memang tidak bisa kembali ke negaranya dalam waktu dekat ini, setidaknya ia harus tahu dulu siapa penyebab keberadaannya di sini. Sungguh, ia masih penasaran dengan tujuan orang itu menyuruhnya meninggalkan Indonesia sampai harus memgancamnya melalui ayahnya.

Sudah dua hari ia di sini, tetapi belum juga menemukan apa pun. Rasanya waktunya sudah terlalu banyak yang terbuang sia-sia ketika mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Pertolongan dari teman-temannya pun terasa mustahil.

Sementara di tempat lain, Elis merasa kecewa dengan sikap Regan barusan. Padahal ia hanya ingin membantunya, salah jika ia khawatir pada teman sendiri?

Takdir CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang