9

3 2 0
                                    

"Sayang, bagaimana keadaanmu? Apa yang kamu rasakan? Bagian mana yang sakit?"

Pertanyaan itu jelas saja membuat ayahnya sontak berdiri dan meriakinya dengan kesal.

"Hei ... Adikmu baru sadar!" tegur sang ayah sembari menghampirinya.

Sean hanya bergeming, tidak peduli dengan apa yang diucapkan lelaki itu. Yang ia tahu sekarang adiknya sudah kembali.

"Kau keluar saja sekarang! Kehadiranmu di sini hanya mengganggunya." Usir Hendru.

Sean berbalik menatap ayahnya tidak percaya. Lelaki itu sampai mengusirnya hanya karena tidak ingin Erika diganggu. Tetapi, ke mana dia saat Erika membutuhkannya.

Syukur saja ada Erika di sini, hingga Sean harus memaksakan diri tersenyum membuat semuanya seolah bersandiwara. Ia tidak ingin pikiran Erika terus terbebani dengan masalah dia dan ayahnya.

"Maaf, Pah, aku hanya terlalu senang anak ini akhirnya kembali tersadar," jawab Sean mengusap pelan puncak kepala Erika.

"Adikmu itu baru kembali tersadar, bukan kembali dari luar negeri sampai kau menanyakan banyak hal seperti itu. Kamu pikir papa juga tidak senang dengan kembalinya Erika?"

Melihat situasi yang tidak enak, dengan cepat Erika menenangkan ayahnya. Ia tidak mau jika sampai kakak dan ayahnya bertengkar hanya karena dirinya.

"Aku sudah gak papa kok, Pah." Erika tersenyum menatap hangat ke arahnya lelaki yang dicintainya itu. "Aku malah senang mendapat perhatikan seperti ini dari Sean."

Erika menarik tangan Sean hingga membuat lelaki itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan bingung.

"Aku mau bicara sebentar sama kak Sean. Boleh, ya Pah?" pinta Erika merengek manja.

Hendru hanya menoleh dengan tatapan sinisnya ke arah Sean. Ia mengembuskan napas kasar sebelum meninggalkan kedua anaknya itu, ia bisa apa selain menuruti keinginan Erika. Entah apa lagi yang ingin anak itu bahas bersama kakaknya sampai ia tidak boleh berada di dalam sana mendengarnya.

Sementara Sean, ia hanya menatap sang ayah hingga benar-benar menghilang di balik pintu. Lalu kembali melirik Erika penuh tanya. Apa yang akan ia sampaikan sehingga mengharuskan sang ayah untuk keluar.

"Kak ...."

"Hm?"

"Kak Sean menemukan orangnya?" Erika bertanya dengan wajah tegangnya.

Sean heran, tidak mengerti orang siapa yang Erika maksud? Dan ada apa dengan eksprsinya, mengapa ia terlihat cemas seperti itu?

Sean menilik wajah sang adik, berusaha mencari tahu sesuatu dari sana. Namun, sayangnya ia buka pakar ekspresi jika bersama Erika. Mendadak ia akan menjadi orang bodoh yang tidak bisa membaca apa pun dari bahasa tubuh adiknya sendiri, selain marah.

"Siapa?"

Sebelum menjawab Erika menatap ke arah pintu, takut kalau tiba-tiba ayahnya akan masuk dan mendengarkan pembicaraan mereka.

"Yang membuatku seperti ini," jawab Erika dengan geram. Sejak kapan otak kakaknya itu lambat beroperasi, bukankah dia salah satu lelaki yang memiliki otak cerdas hingga kabar kecerdasannya tersebar di muka bumi ini dan menyebabkan mereka harus berpisah.

"Ya, kakak sudah menemukannya," jawab Sean datar.

Berbeda dengan Erika, yang malah mengembuskan napas lega dan tersenyum senang setelah mendengarnya. Ia terlihat seperti seorang yang baru saja keluar setelah dikurung berapa lamanya.

"Syukurlah, berarti aku sudah boleh menikmati tidur nyenyakku kembali," kata Erika dengan riang sembari menarik selimutnya dan mencoba menutup matanya kembali.

"Kenapa? Hanya itu yang ingin kau tanyakan? Tidak penting sekali. Kau hanya memikirkan orang itu, tapi tidak pernah memikirkan aku dan papah yang begitu khawatir," gerutu Sean seraya mencebikkan bibirnya.

Erika merasa sedih mendengar ucapan Sean barusan. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir seperti itu tentangnya. Tidakkah mereka tahu betapa kerasnya ia berjuang melawan maut seorang diri dan berusaha tersadar dalam waktu singkat hanya karena tidak ingin kedua lelaki yang ia sayangi itu terlalu lama mengkhawatirkannya. Matanya terbuka dan menatap Sean yang masih berdiri di sisi kanan brangkarnya.

"Justru aku memikirkan kalian, aku takut kalian akan melakukan sesuatu pada orang yang salah, terutama kak Sean," jawab Erika berusaha menahan air matanya.

Sean melirik, lagi-lagi ia tidak mengerti dengan ucapan Erika.

"Maksudmu orang yang salah?" Sean bertanya, meski ia sudah dapat menebak arah pembicaraan Erika.

"Apa kak Sean menemui lelaki yang menelepon malam itu?"

"Ya," jawab Sean singkat.

"Lalu? Apa yang kak Sean lakukan padanya?" Kini Erika bertanya dengan tatapan curiganga.

"Kakak tidak melakukan apa pun."

Mata Erika menatap ragu ke wajah Sean, mencari sesuatu dari ekspresi yang mencurigakan lelaki itu.

"Kak Sean jawab jujur," mohon Erika menatap Sean dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Ia kembali mengingat kejadian malam itu. Saat berjalan menyusuri koridor tiba-tiba ia merasakan seseorang tengah mengikutinya. Dan ternyata dugaannya benar, saat insting dan kata hatinya menyatu memerintahkan sarafnya untuk bergerak memerintah dan memaksa anggota tubuhnya berbalik. Di saat yang sama pisau runcing itu pun berhasil mengenai kulitnya.

Erika marah dan berniat membalas lelaki itu, namun sayangnya lelaki itu terlalu kuat hingga tulang punggungnya terasa retak setelah ia dibanting dengan kasar ke tanah.

Beberapa kali, ia terus mencoba untuk berdiri dan melawan hingga tiba saat Yowan menemukannya dan membantunya. Akan tetapi, Erika sangat kesal dengan kebodohan lelaki yang bernama Yowan itu. Bagaimana tidak kesal, saat Erika bangkit kembali mencoba membantunya justru pisau yang ditodongkan untuk lawan itu melesak masuk ke dalam perutnya kembali.

"Erika!" Yowan mendesis marah dan menatap ke arah Erika yang sudah kembali terduduk.

Yowan kaget, wajahnya terlihat sangat pucat melihat keadaan perempuan itu. Ia hendak berbalik menyerang namun pemilik pisau itu tidak memberinya kesempatan, dengan gerakan cepat pisau telah berpindah tangan bersamaan dengan kaki lelaki itu di punggungnya.

Ia jatuh tersungkur di depan Erika dan tak bisa berbuat apa-apa selain merangkak dengan wajah kagetnya menghampiri perempuan yang terluka itu.

Setengah sadar Erika tersenyum menatap Yowan, "makasih Yo."

"Simpan dulu terima kasihmu itu, aku harus membawamu terlebih dahulu," balas Yowan mencoba menahan darah yang terus mengalir di perut Erika.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera mencari ponsel milik Erika.

"Mau ngapain?" Suara lemah Erika semakin membuatnya bersemangat untuk menemukan ponsel itu dan menyalin sebuah nomor dari sana. Ia mencoba meneleponnya beberapa kali hingga suara seorang lelaki menyapanya dari balik telepon.

"Erika adik lo?" tanya Yowan menatap Erika cemas. Namun melihat Erika menggeleng, ia terpaksa mengurungkan niat untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Kenapa?" tanya lelaki di seberang telepon sana dengan datar.

Di depan Erika terus menatapnya sambil menggeleng membuatnya berpikir keras untuk menemukan kalimat yang harus ia katakan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Ia sudah terlanjur menelepon namun Erika sepertinya tidak ingin jika ia memberi tahu kakaknya.

"Malam ini ulang tahunnya, bukan?"

Setelah mengatakan itu, ia memutus sambungan telepon. Berharap agar lelaki yang barusan ia telepon bisa melacak keberadaannya melalui GPS.

Ia sengaja memberi kode tanpa sepengetahuan Erika. Ia berharap kakak Erika bisa sedikit peka dengan isyarat yang diberikan. Dengan kalimatnya barusan ia yakin lelaki itu akan mencarinya setelah menyadari bahwa Erika tidak ada di rumahnya.

Namun ternyata Sean salah paham dengan itu semua.

Takdir CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang