"Was soll ich tun?" Ia bertanya dengan santai di seberang telepon sana.
"Akh... bisakah kita menggunakan bahasa Indonesia saja? Aku tidak semahir dirimu berbahasa asing, siapa yang tahu kau mengataiku dengan bahasa Jermanmu itu."
"Bukan karena kau takut seseorang di sampingmu menguping pembicaraanmu, kan?" Tawanya di akhir kalimat membuat Regan menoleh ke samping kiri dan kanannya.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa ada di Maroko?"
"Ceritanya panjang, kau cukup mengutus anak buahmu untuk membawaku pergi dari sini," pintanya yang lebih seperti memaksa.
"Wow, sepertinya emosionalmu tidak baik-baik saja kawan."
Regan memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam, lalu kembali mengembuskannya dengan kasar.
Setelah memutus sambungan telepon, ia memijit pangkal hidungnya lama sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan di tempat asing ini seorang diri. Sementara ia tidak tahu bagaimana perasaan ayahnya di Indonesia sana ketika terbangun dan tidak mendapatkan dirinya berada di rumah.
Tak terasa, sudah lebih dari dua jam ia duduk di ruang tunggu. Namun belum juga ada tanda ia akan beranjak dari sana. Sedari tadi, seseorang yang mengangkat papan bertuliskan namanya menunggu di luar.
"Maaf, Tuan. Saya belum menemukannya." Tanpa ragu ia melapor setelah merasa lelah menunggu.
"Cari sampai dapat!"
Sesuai dugaan, ia akan mendapat kalimat seperti ini. Hanya satu hal yang membuatnya harus bersyukur adalah jarak. Ia tidak tahu nasib dirinya andai berhadapan langsung dengan orang yang berada di seberang telepon sana.
"Baik, Tuan," ucapnya patuh kemudian menutup sambungan telepon dan menggaruk kepalanya sebelum kembali mengangkat papan nama itu.
•○°•○°
Setelah lima jam menunggu, akhirnya pintu ruangan operasi itu terbuka juga. Sebelum dokter keluar, Sean sudah lebih dulu berdiri di depan pintu. Sementara Hendru masih tampak tenang dalam duduknya, sepeeti tak ingij beranjak dari sana.
"Bagaimana dengan adik saya?"
Sang dokter tersenyum menatap Sean dan ayahnya bergantian.
"Operasinya berjalan lancar, adik anda perempuan yang kuat," jawab dokter lalu pamit meninggalkan mereka berdua.
Mendengar jawaban dokter, akhirnya Sean baru bisa bernapas dengan lega setelah dibuat tegang berjam-jam lamanya. Tak ada lagi yang perlu ia khawatirkan sekarang, dan tekadnya pun sudah bulat, ia akan tetap membawa Erika bersamanya setelah perempuan itu pulih.
Tak berselang lama, suara decitan pun terdengar dari dalam seiring dengan munculnya brangkar itu berisi Erika yang di dorong oleh empat orang perawat di sisi kanan dan kirinya.
Erika akan dipindahkan kembali ke ruang rawat. Melihat anaknya yang terbaring, Hendru pun bangkit menatap wajah tenang sang putri dengan mata yang tertutup rapat. Ia ingin menangis, namun sepertinya air mata sudah tidak ingin keluar. Tekadnya untuk menemukan pelaku penganiayaan putrinya lebih besar dari rasa sedihnya sekarang.
"Sean ... jaga adikmu! Papa ada urusan sebentar."
Sean hanya mengangguk tanpa menoleh sedikit pun. Ia tahu urusan apa yang dimaksud oleh ayahnya. Tentu tidak lain adalah kasus penganiayaan Erika semalam, namun ia kalah cepat dari Sean.
Ia tersenyum meremehkan pergerakan ayahnya, sangat lambat. Padahal orang besar sepertinya bisa saja menemukannya dalam waktu satu jam andai mengerahkan semua bawahannya. Dan ia tidak harus turun tangan seperti itu, hingga memilih untuk meninggalkan Erika. Sean berpikir, apa jadinya jika semalam ia tidak pulang? Bisa-bisa ia mendengar kabar adiknya hari ini sudah tiada.
Keempat perawat itu segera pamit kepada Sean setelah mengantarkan pasien hingga ke ruang rawatnya. Dijawab senyum oleh Sean dengan sedikit mengangguk kecil membuat perawat wanita itu tiba-tiba salah tingkah dan berjalan cepat meninggalkan Sean yang kini tersenyum jahil.
Setelah keempat perawat itu pergi, ia pun mendekatkan kursi ke samping brangkar Erika. Mendudukkan dirinya dengan tangan yang meraih oelan tangan sang adik yang terbebas dari selang infus.
Ponselnya tiba-tiba berdering begitu nyaring di dalam sakunya. Tak ingin mengganggu Erika, dengan cepat ia keluarkan dan melihat nama penelepon sebelum menjawabnya.
"Lihat video yang papa kirim!" Perintah sang ayah dari balik telepon.
"Video apa?" Ia masih bertanya untuk mengobati rasa penasarannya.
"Ckk... buka saja!" Terdengar jelas di telinga Sean, orang tua itu tengah emosi saat ini. "Itu adalah rekaman Cctv di tempat kejadian."
Merasa penasaran, dengan cepat ia memutar video tersebut. Matanya melotot, betapa kagetnya saat melihat orang di dalam rekaman itu berbeda.
"Kamu kenal dia, kan? Di mana rumahnya?" tanya sang ayah dari balik telepon.
Lagi, Sean mengangguk tidak percaya. Jadi yang ia lenyapkan semalam, siapa? Otaknya kembali berpikir dengan keras, bukan untuk menyesali perbuatannya, tetapi untuk menemukan si pelaku sebenarnya.
•○°•○°
"Assalamu'alaikum," ucap sang pramugari ketika menghampirinya
"Ya wa'alaikumsalam," balasnya sambil mendongak menatap wajah manis dan cantik yang kini berdiri di depannya.
"Ada yang bisa kami bantu?"
Mendengar perempuan itu berbahasa Indonesia padanya, ia kembali mendongak menatap lekat wajah itu.
Sadar dan merasa dirinya diperhatikan seperti itu dengan cepat ia menunjuk paspor yang tergeletak di samping lelaki itu dengan tangannya. Di sana telihat lambang Indonesia dengan jelas.
"Apakah anda butuh bantuan? Ingin saya tunjukkan jalan keluar?" tanya wanita itu dengan sopan
"Tidak perlu," tolaknya dengan cepat menjawab tawaran dari perempuan itu.
Pramugari itu hanya melempar senyum sebelum berlalu meninggalkan dan membiarkan Regan kembali seorang diri di sana.
Regan tidak peduli, bahkan jika perlu ia akan menginap di bandara ini sampai ia menemukan solusi yang tepat. Untuk saat ini, ia tidak bisa mengandalkan siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Sementara di tempat lain, seseorang tengah menatap pisau mengkilap itu. Mengingat betapa menyenangkan permainan semalam. Ia yakin perempuan itu tidak akan selamat.
Semakin cepat namun ia tetap melangkah dengan tenang mengikuti perempuan di depannya itu. Hingga di tempat yang terbilang sunyi dan sedikit gelap, tanpa menunggu lagi segera ia arahkan pisau itu. Namun meleset dari titik yang diincar ketika perempuan itu berbalik.
"Akh ..." jerit Erika tertahan ketika ujung pisau itu mengenai sisi kanan perutnya, di saat bersamaan ia mencoba melakukan perlawanan.
Sekali lagi orang tidak dikenal itu mencoba mengarahkan kembali pisaunya ke Erika. Namun di saat yang bersamaan, seorang lelaki datang membantu Erika.
Senyum lelaki itu semakin lebar, tatkala mengingat lelaki bodoh itu.
Ia berhasil merampas pisau lelaki misterius itu, ia ingin menggunakannya untuk melindungi Erika. Namun saat akan menusukkan pisau itu, ia didorong hingga ridak sengaja menusuk perut Erika di luka yang sama.
Lelaki itu semakin tertawa, ia mengucap terima kasih sambil merampas pisau miliknya sebelum meninggalkan mereka di pinggir jalan. Ia tidak tahu siapa nama lelaki itu, dan ia tidak peduli dengan itu semua. Yang pasti lelaki itulah yang melukai Erika lebih dalam menggunakan belatinya.
》》》 Alhamdulillah hari keenam《《《
Jumlah kata 1023😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta
Mystery / ThrillerPada akhirnya Erika akan bertemu dengan apa yang ditakdirkan untuknya. Sekeras apa pun ia menghindar.