3

21 18 92
                                    

Matanya tidak sengaja melihat gerak gerik mencurigakan di depan sana. Lampu jalan yang remang sangat membatasi penghilatannya, hingga ia sulit mengenali sepasang manusia yang sepertinya tengah bertengkar di pinggir jalan.

Namun, saat mobil melewati keduanya. Mata Elis sempat melihat perempuan itu tengah kesakitan.

"Regan, stop!" ucap Elis membuat Regan menghentikan mobilnya tiba-tiba.

"Ada apa?" tanya Regan menoleh dengan cepat ke arah Elis.

Ia berbalik ke belakang diikuti oleh Regan.

"Sepertinya mereka bertengkar, kamu harus menolong perempuan itu," saran Elis menatap penuh khawatir.

"Biarkan saja mereka, aku harus buru-buru ke bandara," balas Regan dingin lalu kembali melajukan mobilnya.

Sementara Elis masih terus melihat ke belakang sana. Ia benar-benar mencemaskan perempuan yang tadi ia lihat. Jika mereka sepasang kekasih, harusnya tidak perlu bertengkar seperti itu.

"Sudahlah, Lis. Kita tidak perlu mencampuri urusan orang lain." Suara Regan kembali menyadarkannya.

Ia mengangguk setuju dan kembali menatap lurus ke depan. Yang perlu ia pikirkan sekarang adalah masalah Regan, bukan yang lain.

Memgingat tempat tujuannya semakin dekat, Elis berdehem. Ia ingin menanyakan lagi pada Regan tentang apa yang membuatnya seperti sekarang. Namun, ia masih ragu melakukannya.

"Ingin bertanya sesuatu?"

Mengerti dengan bahasa tubuh perempuan di sampingnya itu, Regan akhirnya membuka suara. Sebentar ia menoleh menatap Elis, lalu kembali menatap lurus ke depan.

"Ak-aku hanya ingin tau-"

"Seseorang telah menyuruhku untuk meninggalkan Indonesia malam ini juga dengan menjadikan papa sebagai ancaman," jelas Regan tanpa menunggu ucapan Elis selesai.

Tiba di bandara, Regan dan Elis kembali dikagetkan dengan kedatangan seseorang menjemputnya di pintu depan. Lelaki itu menggunakan topi dan masker serba hitam hingga mereka tidak bisa mengenali wajahnya.

"Silahkan ikut saya," pinta lelaki misterius itu.

Elis menatap Regan cemas, ia setengah mati menelan ludahnya sendiri melihat lelaki itu kini mengawal langkah mereka. Sementara Regan tetap berjalan dengan tenang dan santai, ia hanya berbalik memberikan anggukan kecil ke Elis berusaha menenangkan perempuan itu dengan sedikit senyum.

Ternyata lelaki itu tidak sendiri, ia memiliki beberapa teman yang berpenampilan sama. Tiba di ruang tunggu, lelaki yang lain datang memberikan sebuah paspor dan tiket.

Elis benar-benar tidak percaya, jelas ini adalah sebuah perencanaan yang matang dari seseorang yang beekuasa. Regan dalam masalah yang serius. Sebentar ia melirik paspor di tangan Regan.

"Maroko," gumamnya yang masih dapat di dengar oleh Regan.

Seketika Regan pun melihat tiket yang ia pegang. Benar, malam ini ia akan dikirim ke Maroko. Tapi siapa yang sudah merencanakan ini semua? Dan apa tujuanya?

Ia menarik napas dalam-dalam berusaha untuk menenangkan pikiran dan perasaannya. Entah sudah berapa kali ia kembali berpesan kepada Elis untuk terus memantau dan mengabari keadaan papanya.

"Lima belas menit lagi," ucap salah seorang yang masih setia berdiri di belakangnya.

Air muka Elis tampak semakin tegang. Malam ini, Regan benar-benar akan pergi meninggalkannya. Andai saja ia bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya.

•○°•○°

Pukul dua belas kurang lima menit, ia merasa terngganggu dengan telepon yang terus berdering. Tanpa membuka mata, tangannya meraba sekeliling untuk mencari keberadaan benda berisik itu. Namun, saat ia telah menemukannya, ponsel itu sudah berhenti bersuara.

Hanya berselang beberapa detik, ketika ia memutuskan untuk kembali tertidur, ponselnya pun berdering lagi. Namun, kali ini ia tidak perlu lagi meraba, ia langsung saja menjawab telepon tanpa melihat siapa penyebab ponsel itu berbunyi dari tadi.

"Erika adik lo?" tanya seseorang dari balik telepon.

Mendengar nama Erika, seketika matanya terbuka lebar. Kantuk yang menyebabkan kelopak matanya terasa berat, entah memguar ke mana. Pikirannya tiba-tiba dipaksa fokus untuk ke Erika sembari menajamkan pendengarannya untuk mengenali si pemilik suara di seberang telepon sana.

"Kenapa?" Ia memilih bertanya untuk memancing si penelepon terus bicara.

"Malam ini ulang tahunnya, bukan?"

Sean hanya mengangguk, masih memikirkan siapa dan apa tujuan orang itu meneleponnya? Rasanya tidak mungkin jika itu teman Erika .

Namun, baru saja ia akan bertanya, sambungan telepon sudah lebih dulu diputuskan. Sedikit kesal, tetapi orang itu sudah berhasil membuatnya penasaran.

Setelah meletakkan ponselnya ke atas nakas, ia baru melihat jam. Ternyata sudah lebih dua jam lamanya Erika marah, padahal tidak biasanya selama itu. Harusnya satu jam yang lalu pintu kamarnya sudah dibuka paksa oleh perempuan itu, tetapi ...

Seketika perasaannya tidak enak. Tanpa berpikir lebih lama lagi, ia segera menyingkap selimut dan menemui Erika ke kamarnya.

Tiba di depan kamar Erika, tangannya langsung memutar knop pintu. Sebelumnya ia telah mengaktifkan kamera ponselnya untuk merekam wajah cantik itu ketika bangun tidur.

"Happy birth-"

Ucapannya terhenti saat ia tak menemukan adiknya di dalam sana. Matanya menyusuri setiap sudut kamar itu, yang ada hanya buku yang dibiarkan tergeletak bersama bungkusan snack di atas ranjang, juga beberapa pakaian bekas pakai yang tidak sepenuhnya masuk ke dalam keranjang pakaian kotor. Benar-benar kamar seorang Erika.

Akan tetapi, ia kembali tersadar ke mana pemilik kamar? Padahal selama dalam perjalanan, ia terus membayangkan Erika baik-baik saja dan dia di dalam kamarnya tengah tertidur dengan pulas.

Kecemasan seketika menguasai perasaannya, ia harus mencari adiknya. Dengan cepat ia memutar badan hendak pergi meninggalkan kamar itu sebelum akhirnya langkahnya terhenti saat tiba-tiba Erika berdiri di depannya dengan kondisi yang jauh dari kata baik.

Wajah cantiknya terlihat sangat pucat dengan sorot mata yang kian melemah. Sebelah tangannya menahan sesuatu di bagian perut sebelah kanannya.

"Erika, apa yang terjadi?" Ia bertanya dengan kaget melihat tampilan sang adik.

"Kak ..." ucapnya dengan lirih sebelum tubuh lemah itu limbung ke dalam pelukan Sean.

Melihat tangan Erika penuh darah, ia pun baru menyadari dan segera menarik sprei untuk menekan luka itu agar darahnya tidak terus keluar.

Dengan gerakan cepat, ia membawa adiknya ke kamar.  Membaringkan lalu membuka jaket yang Erika kenakan dengan cepat namun tetap hati-hati. Gerakannya sempat terhenti saat melihat kaos yang dipakai oleh Erika, itu adalah hadiah dari Maroko setahun lalu, dan menjadi satu-satunya kaos kesayangan Erika.

Ia menggeleng, persetan dengan kaos, ia bahkan bisa membelikan perusahaan kaosnya sekali pun jika Erika minta. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan perempuan yang sangat ia sayangi itu.

"Erika kumohon bertahan, Sayang," katanya sembari membersihkan luka yang terbilang parah.

Dengan telaten ia menjahit luka itu hingga selesai, mengoleskan salep sebelum memasang perban. Setelah dirasa cukup, ia baru menutupinya dengan selimut.

"Siapa pun yang melakukan ini, kupastikan ia tak akan bisa melihat matahari esok pagi."

》》》 Alhamdulillah hari ketiga《《《
Jumlah kata 1013😉

Takdir CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang