Chapter 7

297 19 0
                                    

Chenle melihat ke arah jam dinding yang ada dikamar Asahi. Jam baru menunjukkan pukul 5 lebih sedikit.

Dia menoleh ke arah kasur lain. Mendengus pelan melihat kedua sahabatnya masih tertidur. Sahabat? Ya, Chenle kini sudah menganggap Beomgyu sebagai sahabatnya.

Chenle memutuskan untuk pergi ke dapur saja karena kebetulan dia sedang haus.

Langkahnya terhenti ketika dia mrlihat Nyonya Hamada berada di dapur bersama pelayan lain tengah memasak.

"Ah. Kau cepat sekali bangunnya Chenle." Chenle hanya tersenyum tipis. Baginya bangun jam 5 itu kesiangan.

Nyonya Hamada mematikan kompor. Dia sudah selesai memasak, sisanya tinggal pelayan yang berbuat. Dia ingin berbincang hangat dengan salah satu sahabat anak nya itu.

Nyonya Hamada memberi kode agar mengikuti dirinya kepada Chenle. Mereka kini duduk digazebo keluarga Hamada.

"Sini Chenle." Chenle menurut untuk duduk disamping Nyonya Hamada.

Nyonya Hamada mengelus surai Chenle dengan lembut. Chenle mematung, dia jadi teringat kepada mendiang ibunya.

Dia menginginkan hal seperti ini dulu. Inilah yang Chenle kecil selalu dambakan.

Hingga tanpa sadar kelopak matanya berkaca-kaca, berkedip saja dapat dipastikan air matanya akan tumpah.

"Jangan ditahan. Keluarkan saja air mata mu."

Chenle tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Dia mengusap kedua matanya dan menetralkan deru nafasnya. Hingga ucapan Chenle berikutnya membuat Nyonya Hamada tak bergeming.

"Eomma pernah berkata, jangan pernah menangis untuk mengambil simpati orang lain atau untuk menunjukkan sisi lemah kita."

*****

Sekolah diliburkan. Ah rasanya Chenle senang sekali. Remaja itu kini sudah berada dirumahnya kembali. Sudah sepi dan itu cukup melegakan untuk Chenle, setidaknya dia ingin bersantai-santai untuk hari ini.

Sementara itu, Jeno berdiam diri dikamarnya. Aktivitas yang dia lakukan hanya sebatas membaca buku-buku koleksinya, buku tentang perbisnisan dan perekonomian lebih dominan dibaca oleh Jeno.

Dulu ketika diajak untuk bekerja diperusahaan ayah nya oleh Mark, Jeno selalu menolak dan berkata ingin berkerja yang lain saja, bukannya mendapatkan pekerjaan justru Jeno malah sering pergi ke tempat pergulatan. Tempat dia menyalurkan emosinya

Jeno tau semuanya pergi karena mereka saat ini tengah sibuk. Untuk Chenle? Jeno rasa anak itu juga tidak ada dirumah. Jeno sendiri juga tidak tau jalan pikiran anak itu. Anak itu, terkadang perhatian dan terkadang bersikap tidak peduli pada sekitar.

Tapi hari ini, adik nya yang satu itu tiba-tiba menghampiri dia ke kamarnya dan mengajak dia untuk berkeliling dihari yang masih terbilang pagi.

Mereka hanya berkeliling dilingkungan sekitar rumah, karena suasana yang sepi. Membuat mereka dilingkupi rasa tenang, jikalau boleh mengatakan hal yang sebenanrnya. Jeno dan Chenle sama-sama merasakan deja vu sekarang ini.

"Apa kau merindukan berjalan-jalan seperti ini? Dulu kau selalu memintanya kepada appa." ucap Chenle disela-sela perjalanan mereka yang membuat Jeno tersentak kecil.

Dapat dia simpulkan, Chenle selalu memperhatikan semua saudara nya sedari dulu. Bahkan hal ini yang terdengar sepele saja dia perhatikan.

Jeno mengangguk dan tersenyum miris. "Tapi selalu berakhir ahjumma Park lah yang selalu menemaniku,"

"Appa memang terkadang mengacuhkan anak-anaknya." lanjut Jeno.

Chenle terdiam cukup lama, "Kau benar."

After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang