TTM 02 - PERANG DINGIN

356 64 17
                                    

“VIAA!” Teriakan Gilang menggema memenuhi ruang kelas.

Alvia tertawa keras. Dengan cepat dia berdiri dan melarikan diri dari amukan Gilang yang mengejarnya di belakang. Mereka sibuk berdua, tak memedulikan tatapan murid lain yang tampak jengah dengan tingkah mereka yang tak layak disebut murid SMA.

“Via! Sini nggak lo!”

“Nggak mau!” Alvia masih tertawa sambil berusaha terus menghindar dari kejaran Gilang. Ia menarik satu meja di sampingnya kemudian mendorongnya untuk menghadang pergerakan Gilang.

Alvia tidak lanjut berlari. Dia dan Gilang saling berhadapan dengan meja sebagai penghalang mereka. Sesekali ia menjulurkan lidah mengejek Gilang yang tidak bisa menangkapnya.

“Woi! Kalian, tuh, ya, udah dikasih waktu istirahat lebih nggak dipakek buat ganti baju atau jajan, malah kejar-kejaran kayak bocah!” teriak Derrel, si ketua kelas yang mencoba menghentikan kericuhan yang mereka ciptakan.

Tingkah keduanya membuat teman satu kelas mereka pun tak percaya jika mereka memiliki teman yang absurd dan bobrok seperti Gilang dan Alvia. Sangat-sangat merusak citra title “kakak kelas”.

“Heehh! Berhenti nggak lo berdua!” teriakan Derrel kembali terdengar dengan jari yang menuding ke arah mereka berdua ketika melihat keduanya kembali beraksi.

Alvia mengalihkan pandangan ke Derrel yang mulai mendekati mereka dan tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari Alvia membuat semua yang ada di kelas satu persatu keluar sambil menutup telinga mereka.

“Ampun, Lang. Gilaangg! Geli ahahaha.”

Salah satu tangan Gilang sudah melingkar di leher Alvia dengan memanfaatkan kesempatan saat gadis itu lengah tadi. Ia menghimpit kepala Alvia yang membuatnya nyaris tercekik. Bukannya kesakitan, Alvia malah kegelian.

“Gilaanggg! Lepasiinn!” rengek Alvia sambil bergerak liar berusaha lepas dari lengan besar Gilang yang melingkar di lehernya.

Gilang sepertinya tidak peduli.

“Cepet ganti baju woii!” Derrell yang sudah berada di dekat mereka berteriak sambil menggebrak meja dengan keras yang membuat keduanya berjingkat kaget.

“Der ... bantuin gue.” Alvia memelas dengan wajah dibuat sesedih mungkin, tetapi masih bercampur dengan tawa kegelian.

“Nggak usah banyak drama! Cepet ganti!”

Alvia langsung mengerucutkan bibirnya kesal, menatap Derrel dengan sinis lalu berusaha memutar kepala supaya bisa melihat Gilang yang kini tertawa mengejeknya.

“Lu juga! Lepasin!” Alvia memukul-mukul lengan Gilang dengan keras dengan tubuh yang terus berusaha keluar dari lilitan lengan cowok itu.

“Nggak.”

Alvia menunduk menatap lantai. Beberapa detik selanjutnya wajah itu berseri seakan baru saja mendapat doorprize berhadiah.

“Lang ... bentar, deh. Lepasin dulu. Mata gue kelilipan, nih,” lirih Alvia dengan memegang salah satu matanya.

“Nggak mau. Akal-akalan lu doang.”

“Beneran, Gilang. Nggak enak banget kayak ganjel gitu.”

Gilang yang mendengar suara serius Alvia langsung saja melepaskan lengan yang melilit kepalanya dan langsung merangkum wajah Alvia, mendekatkan wajah dan menatap lekat-lekat salah satu mata yang dimaksud tanpa tahu bahwa Alvia berteriak kegirangan di dalam hati karena Gilang berhasil masuk perangkap cewek itu.

“Sini gue tiup.” Gilang terlihat khawatir.

Dan sebelum dia melakukan itu, Alvia sudah menghela napas keras, mengeluarkan bau mulut tepat di wajah Gilang seperti cara mengeluarkan keong di cangkangnya.

Sontak saja Gilang langsung melepaskan wajah Alvia dan balik menutup hidung sambil berteriak kesal.


Alvia melompat menjauh sambil tertawa keras, kemudian kembali melarikan diri keluar kelas setelah sebelumnya mengambil totebag yang berisi seragamnya.

“VIA! MAU KE MANA LO! AWAS LO NTAR!!”

Alvia semakin tertawa keras mendengar teriakan Gilang, tak peduli dengan murid lain yang memandangnya aneh. Sudah jelas terlihat aneh!


***


Setelah kejadian kemarin, di situlah hari Alvia mulai tenang. Gilang pun mendadak ikut tenang. Bukan tenang—mungkin lebih tepatnya perang dingin. Salah Gilang bermain-main mengusik ketenangan seorang Alvia.

Laki-laki itu mulai memberi jarak saat dirinya tiba di kelas. Gilang tidak memedulikannya, tidak membalas sapaannya, bahkan tidak melihatnya sedikit pun selama kelas berlangsung. Gilang seperti menganggap dirinya tidak ada, dan itu membuat Alvia terheran.

“Tumben banget dia anteng begitu?” Liana yang duduk di sebelahnya terheran tak mendapati keributan di antara dua kubu yang seperti Tom and Jerry itu hari ini.

Alvia menatap Liana datar. “Lo sebenarnya suka gue yang ribut atau yang tenang gini?”

“Suka yang tenang lah. Enak. Kuping gue nggak kebas. Cuma, ya, heran aja gitu, soalnya biasanya kalian yang paling heboh di kelas gonjang-ganjing,” jelas Liana sambil membenarkan poni pendeknya.

“Biarin aja lah.”

Sementara di bangku lain, berlangsung suasana dan percakapan yang serupa.

“Lang, tumben, Lang?” tanya Fatah yang sejak pagi terheran-heran melihat Gilang yang diam dan anteng saja.

“Tumben apaan?” Gilang menjawab dengan wajah dan nada suara datar.

“Tumben lo nggak ganggu Via. Lo nggak ketempelan jin pas berangkat ke sini, kan?” Derrel yang baru bergabung menimpali, ikut bingung dengan sikap Gilang yang tidak seperti biasanya.

Laki-laki itu mendesis. “Sialan! Iya, ketempelan! Ntar jinnya gue suruh ngikut lo!” Gilang berseru sinis.

Derrel mengeplak kepala Gilang lalu berlalu pergi sambil mengumpat pelan.

Gilang mencuri-curi pandang ke arah samping pada bangku di mana Alvia duduk. Di sana, gadis itu terlihat tertawa bersama teman-temannya, terlihat tidak terganggu sama sekali dengan ketegangan antara mereka berdua.

“Vii! Lo tumben sama Gilang anteng banget hari ini?” seru Fatah ketika mendapati Gilang mencuri pandang ke arah Alvia.

Gilang mengumpat, mengeplak kepala Fatah tak peduli dengan umpatan Fatah yang tak terima dengan Gilang. Keduanya melihat ke arah Alvia yang diam saja tidak ada respon.

Fatah lalu menatap Gilang yang ada di sebelahnya kemudian terbahak melihat Alvia yang cuek saja tak menanggapi.

“Beneran dicuekin lo itu, Lang hahaha.”

“Bisa-bisanya lo malah ikutan anteng. Awas lo, yaa.” Gilang berucap pelan yang hanya dia saja yang mendengarnya.

Bersamaan dengan itu, suara bel masuk berdering nyaring, menyela Gilang dari panas hati yang mengusiknya.


***


“Baik, sampai di sini pembelajaran kita hari ini. Jangan lupa dicatat rumus-rumus penting tadi. Ibu tidak mau dengar alasan apapun, terutama kalau ada yang bilang Ibu tidak memberikan rumus untuk menghitung laporan keuangan.”

Semua murid serentak menjawab iya, lantas serentak pula mendesah lega saat sang guru keluar ruangan. Bel istirahat pun terdengar. Saatnya mengisi perut yang sudah sejak tadi meronta-ronta ingin diisi.

Liana membalikkan tubuh ke belakang, menggebrak meja dengan semangat menggebu, membuat semua orang yang berada di sekitar cewek itu terperanjat kaget, termasuk Alvia juga Laras dan Mela yang merupakan objek gebrakan meja itu ditujukan.

“Woi! Aseemm!” Laras menggetok kepala Liana dengan buku tebal yang digulung, menyebabkan Liana mengaduh keras.

“GUE KAN NGGAK SENGAJA!” teriak Liana tak terima.

“Lo ngeganggu! Gue masih nyatet ini!” tekan Laras. Ekspresinya berubah datar.

“Udah, udah.” Alvia segera menjadi penengah. Dia membalik tubuh Liana agar menghadap ke papan depan. Sementara itu, dia menyuruh Laras untuk melanjutkan kegiatan mencatatnya.

Alvia mendekat pada Liana lalu berbisik, “Lo juga ngapain pake unjuk aksi gebrak meja segala?! Udah tau Laras gen-nya nggak bisa diganggu gugat, pake acara gebrak meja segala,” cecar Alvia.

“Gue mau tanya mereka, Vi, ntar ke kantin mau makan apa biar samaan,” balas Liana.

“Tapi, nggak usah pake gebrak meja segala juga, Liana.” Gemas Alvia meladeni temannya yang satu ini. Astaga!

Alvia pun mengganti posisi menghadap ke belakang. “Udah selesai belum? Ngantin, yuk! Gue laper.”

Laras dan Mela mengangguk. Alvia menjentikkan jari ikut berdiri dari duduknya dengan semangat.

“Gue pengen makan soto, deh,” ucap Alvia bersemangat.

Keempat gadis itu keluar kelas dan bergegas menuju kantin yang kini terlihat penuh dengan siswa-siswi yang memiliki tujuan sama seperti mereka. Dari satu counter ke counter lain benar-benar tidak ada yang kosong.

“Bagi-bagi tugas, nih, kalau kayak gini,” gumam Alvia.

Bahu Liana merosot. “Ya ampun, mau makan aja harus usaha bener.”

“Mel, lo sama gue pesen makan, ya?” Alvia menunjuk Mela yang langsung disetujui.

“Lha, kok sama Mela?” Liana tampak tak terima.

“Gue pengen sama Mela.” Alvia mengapit lengan Mela.

“Disamain aja pesen soto atau kalian mau pesen makanan lain?” Mela bertanya menatap Liana dan Laras.

“Samain aja.” Laras menjawab sementara Liana mengangguk sebal. Jalan terlebih dahulu meninggalkan Laras.

“Ayok, Mel.”

Sudah update bab 2 nih 🤩 Jangan lupa tinggalkan jejak kalian, yaa 💖

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah update bab 2 nih 🤩
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian, yaa 💖

Tetangga Tapi Mesra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang