TTM 39 - CANGGUNG

122 4 0
                                    

Tak ada yang mengetahui jika kondisi Farah yang benar-benar berantakan. Keluarganya hanya memberitahu pada pihak sekolah jika Farah sedang sakit. Sanak saudara dan kerabat terdekat pun bahkan tak mereka kabari. Kedua orang tuanya seakan menutup rapat apa yang terjadi pada putri mereka.

Selama di rumah sakit, kedua orang tua Farah setia menunggu tanpa ada yang meninggalkan satu sama lain. Pekerjaan mereka tinggalkan untuk sementara waktu. Menunggu kondisi Farah membaik sekaligus menunggu putri mereka siuman.

Hal yang mengejutkan selama di rumah sakit adalah Ansel. Ya, pria itu menunggu Farah di sampingnya, menggenggam tangan putri mereka satu-satunya erat. Ia merasa menyesal dan sadar dengan apa yang selama ini telah dia perbuat. Dia terlalu keras dalam mendidik Farah. Pria itu terlalu menekan Farah hingga tanpa sadar malah membuat Farah sendiri stress berkepanjangan.

Ansel sangat menyesali hal itu. Betul, dia melakukan hal-hal tersebut untuk kebaikan anaknya. Untuk kebaikan serta nama baik keluarga mereka. Namun, cara dia sendiri sudah termasuk salah hingga membuat anaknya hampir saja tewas jika saja istrinya terlambat masuk ke dalam kamar Farah.

Di sisi ranjang Farah yang lain juga ada Cantika ikut setia menunggu Farah bangun dari tidur lelapnya. Tatap Ansel benar-benar sendu menatap Farah, ia bergumam maaf berulang kali dan melontarkan kata sayang pada Farah. Cantika diam-diam meluruhkan air mata mendengar kata-kata Ansel yang baru saja keluar.

"Kamu tidak istirahat?" Ansel menatap Cantika yang terlihat kusut dan lelah, sama seperti dia.

Cantika menggeleng. "Aku mau menunggu anakku siuman terlebih dahulu." Wanita itu menatap sayang pada Farah lalu menyibakkan helai rambut yang menutupi kening Farah.

Ansel menatap merasa bersalah. "Maafkan aku, Cantika. Gara-gara aku ...." Belum sempat Ansel menyelesaikan ucapannya, Cantika menyela pembicaraan. "Sudah, cukup! Jangan membicarakan hal itu lagi di depan Farah!" Wanita itu memperingati Ansel, menatap tajam pada suaminya sebelum pembicaraan semakin panjang.

Ansel menunduk, mengelus punggung tangan Farah dengan sayang. Lama mereka menunggu hingga Cantika perlahan tertidur dengan posisi duduk. Ansel membiarkannya begitu saja. Ia tahu istrinya sedari tadi menahan kantuk, walaupun dengan posisi yang kurang tepat. Setidaknya, dia masih mendapatkan istirahat walau sebentar.

Ansel tetap menunggu sampai saat Ansel ingin terlelap, dia merasakan jemari Farah bergerak di genggaman tangannya. Ia terperangah sejenak, lalu menatap Farah yang perlahan membuka kedua matanya. Ansel manahan air mata melihat Farah yang benar-benar sudah siuman.

"Farah, maafin, Papa, Nak. Maafin, Papa," ujar Ansel penuh sesal langsung memburu anaknya dengan kalimat permintaan maaf.

Cantika yang mendengar suara Ansel berbicara merasa terganggu dan ikut terbangun. Ia ikut terkejut dan menangis haru melihat Farah sudah sadar. "Ada yang sakit? Mama panggilkan dokter, ya," kata Cantika yang justru dibalas gelengan oleh Farah.

Gadis itu menahan Cantika untuk terus berada di sampingnya. "Temenin Farah di sini," lirih gadis itu bersuara. Ansel yang melihat putrinya mengabaikan saja, kembali mengutarakan maaf sembari bertanya adakah tubuhnya yang merasa sakit.

Cantika menatap geram pada suaminya. "Sudah kubilang bicarakan itu ketika Farah kondisinya sudah membaik!"

"Ma ... Farah baik-baik aja." Tatapnya kini berganti menatap pria yang kondisinya sama dengan Cantika. Farah tahu jika pria yang ada di depannya ini adalah ayahnya, hanya saja ia butuh waktu mengingat perlakuan sang ayah dengannya yang 'seperti itu'.

"Pa ... Farah udah baik-baik aja cuman nanti aja, ya, untuk ngobrol panjangnya," ujar Farah agar ayahnya tidak khawatir berlebihan. Selama Farah sudah sadar, kedua orang tua mereka memusatkan perhatian mereka full pada kesembuhan putri mereka. Benar-benar mengabaikan pesan atau panggilan dari rekan kerja mereka.

***

Berbeda dengan suasana rumah sakit di kamar Farah yang tampak terlihat hangat, lain halnya dengan suasana di kantin mereka yang tampak sunyi dan canggung diantara atmosfer sekeliling. Di salah satu meja kantin terdapat Gilang dan Alvia yang didudukkan paksa berhadapan oleh teman-temannya.

Baik Gilang maupun Alvia benar-benar merasakan canggung yang luar biasa. Sejak saat itu, mereka belum ada komunikasi atau penjelasan. Gilang yang sedang menunggu Alvia mau mendengarkan penjelasannya tanpa ada penolakan pun Alvia ikut menunggu Gilang mengajaknya berbicara berdua menjelaskan tentang hal itu.

Namun, jika dilihat tidak ada pergerakan sama sekali hingga membuat teman dekatnya merasa gemas. Sampai tercetus ide untuk mendudukkan mereka berdua di satu meja yang sama dengan ditemani oleh mereka.

Ide tersebut tentu dicetuskan oleh Liana dan Derrel karena mereka yang paling waras serta yang paling tidak terlalu absurd dari mereka semua.

"Jadi, gini udah kayak istirahat biasa aja. Kita ngajak Via ngantin, lo pada ngajak Gilang juga ngantuk. Nah, entar, geret aja Gilang duduk di meja yang nanti kita tempatin. Oke, nggak?" Liana bersuara dengan Fatah yang manggut-manggut saja sementara Derrel menepuk tangannya sekali dengan keras sembari melotot.

"Nah, habis itu, kita tinggalin gitu aja. Kita tinggal pesen makan sama minumnya. Ntar alasan gitu sambil kita awasi dari jauh," papar Derrel di mana Laras langsung menjentikkan jari membuat yang lain menatap Laras penuh tanya.

"Kenapa lo?" tanya Mela yang berada di sebelah.

Laras menyengir. "Nggak papa. Gue setuju sama usulan lo," sahutnya membuat Fatah yang mendengar langsung melempar Tipe-X entah milik siapa.

"Hoo! Nih, orang jawab aja yang bener nggak usah pakek jentik-jentik jari segala gitu, Neng!" tandas Fatah menatap gemas pada Laras.

"Yee ... biasa aja kali lo." Laras balik melempar Tipe-X itu kepada Fatah, lalu begitulah hingga kini Gilang dan Alvia malah duduk dengan kaku di meja sana. Baik ekspresi dan postur tubuhnya saat duduk pun terlihat kaku.

"Ini lama-lama gue gemes, nih, sama mereka. Nggak ada yang mau buka mulut dulu," seru Fatah menatap dari jauh Gilang maupun Alvia.

"Hee ... hee ... ada pergerakan, ada pergerakan!" Derrel berujar heboh sembari menepuk pundak Fatah kepalang keras. Fatah meringis merasa sakit. Ia memberi jarak pada Derrel dan menatap sengit pada laki-laki itu. Fokusnya kini teralih pada Gilang dan Alvia yang mulai terlihat obrolan kecil nan singkat. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi setidaknya bagi mereka, ada pergerakan dari Gilang dan Alvia.

"Lo nggak ikut pesen makan?" Gilang mulai bertanya mencoba mengajak bicara Alvia. Ia merasa jantungnya seperti lari maraton ketika melontarkan sebuah pertanyaan pada Alvia. Ia menatap Alvia yang ada di depannya rakus-rakus. Memuaskan perasaan rindunya pada gadis itu.

"Nggak, gue udah pesen sama Laras." Hening kembali menyapa mereka. Alvia mencuri tatap pada Gilang yang kini dia juga sama-sama merindukan laki-laki itu tanpa keduanya sadari.

"Kalau lo mau pesen makan, pesen aja nggak papa. Gue tunggu mejanya," lontar Alvia tersenyum kecil bahkan ia tersenyum saja terkesan kaku sekali.

"Mereka ini beneran nggak tertolong kayaknya, ya," kata Fatah sembari menggigit tahu isi dengan lombok yang sudah dia masukkan ke dalam isiannya.

Derrel yang berada di sebelah, menoleh. "Kok bisa?"

"Noh, lihat, noh! Si Via aja mau senyum ke Gilang aja kayak kaku banget gitu. Kayak kanebo kering yang butuh disiram dulu pakek aer biar lemes."

"Yee! Mulut lo itu yang kelemesan! Ngomong kagak difilter." Derrel melempar lombok ke arah Fatah.

Naahh lama nggak ngobrol kedua jadi canggung yee, Lang 😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Naahh lama nggak ngobrol kedua jadi canggung yee, Lang 😂

Tetangga Tapi Mesra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang