TTM 32 - MENYANGKAL

87 8 1
                                    

"Aku mau izin keluar."

Pagi hari ini, Farah memberanikan diri untuk menghadap pada sang ayah di ruang kerja. Di hari Minggu seperti ini, ayahnya selalu bekerja, tetapi saat hari Minggu beliau akan membawa pekerjaannya di rumah. Mengerjakan pekerjaan tersebut dengan santai.

Ansel—Papa Farah—menatap lekat pada putrinya setelah mendengar izin dari Farah secara langsung ... serta pertama kalinya Ansel mendengar Farah berani meminta izin untuk keluar. Kebetulan, Cantika—Mama Farah—juga sedang berada di ruang kerja menatap Farah bingung saat putrinya ke ruangan ayahnya.

"Izin? Memangnya kamu mau ke mana?" sahut Ansel sembari mengecek beberapa berkas yang ada di meja, serta di sisi kanan meja yang belum tersentuh sama sekali oleh Ansel.

Cantika mengawasi gerak-gerik suaminya pun putrinya, ia takut jika akan terjadi sesuatu pada keduanya.

"Aku mau keluar. Main. Jalan-jalan." Farah menjawab dengan tegas dan yakin. Ia sangat ingin sekali keluar, entah akan dengan siapa dia akan jalan-jalan. Satu hal yang harus dipastikan oleh Fatah sendiri, jika dia harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.

"Main? Jalan-jalan?" tanya Ansel menilik tepat pada manik mata Farah.

Ansel beranjak dari tempat duduk kebesarannya. Berkas yang sedari tadi ia beri perhatian penuh, kini beralih pada Farah. Cantika merasa was-was dengan beranjaknya Ansel di tempat sementara Farah tetap berdiri tak gentar membalas tatapan sang ayah.

"Kamu mau main?" tanya Ansel sekali lagi.

Farah mengangguk mantap. "Iya, aku mau main."

Setelah Farah menjawab, sebuah suara tamparan sangat keras menggema di dalam ruangan. Cantika berlari, berjongkok melindungi putrinya dari amukan Ansel. Tamparan Ansel sungguh membuat salah satu pipi Farah terasa panas bahkan Farah sendiri sampai terjatuh terhuyung ke lantai. Cantika sungguh tak menyangka jika suaminya akan memukul Farah.

"Kamu ngapain tampar anak kamu!" pekik Cantika marah. Ia melotot, menahan air mata yang menganak di pelupuk mata.

Ansel tak menghiraukan perkataan istrinya. Tatapannya terpaku pada Farah yang tak bergerak sama sekali. Sebagian wajahnya tertutup oleh rambut yang tergerai. "Inget apa kata Papa, kamu tetep harus belajar. Nggak peduli sekarang hari Minggu atau kamu cuman sekedar pengen jalan-jalan, kamu harus belajar! Tingkatkan nilai akademikmu di sekolah dan kasih tau ke Papa ... hari itu juga kamu boleh main sepuasnya!" Ansel menuding Farah, tegas dan penuh penekanan pula dia saat berbicara. Ia langsung meninggalkan ruang kerjanya membiarkan istri dan putrinya begitu saja.

Cantika memeluk putrinya, menangis tersedu-sedu, mengagumkan kata maaf berulang kali. "Maaf. Maafin Mama, ya, Sayang."

Farah tetap merunduk seperti posisi semula dengan satu tangan memegang salah satu pipinya yang panas. Ia ikut menangis dalam diam mendengar suara ibunya serta keterkejutannya dengan sang ayah.

***

Gilang bergerak gelisah, ia mondar-mandir di dalam kamar memikirkan bagaimana caranya dia meluruskan salah paham kemarin saat di sekolah. Alvia sampai saat ini masih bertahan dengan mendiamkan Gilang.

Gilang sedari kemarin mencoba untuk menjelaskan dan meluruskan salah paham yang terjadi, tetapi Alvia malah menghindar. Dia tak mau berbicara, menutup rapat mulutnya. Jangankan berbicara, Gilang memanggilnya pun tak dia dengar.

Laki-laki itu mendengkus keras. Gilang mengacak-acak rambutnya frustrasi. Ia melirik ke arah jendela dan berlari keluar kamar. Terbesit di pikiran, untuk mengintip dari ruang tamu. Memantau apakah Alvia akan keluar dari rumah atau tidak.

Tetangga Tapi Mesra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang