Pagi ini perpustakaan lumayan ramai Seorang siswa dengan lengan yang di lipat,serta baju yang di keluarkan,
masuk ke dalam ruangan yang di cat putih itu, seperti biasa dia selalu mengambil buku yang sama, dan tentunya dia selalu duduk di tempat yang sama, namun emosi nya tersulut saat mendapati seorang anak lelaki yang notabene adalah adik kelas nya itu menduduki tempat favorit nya."Sialan" umpat nya pelan.
"Woi, buku nya udah selesai belum dibaca?!!!"
Sabang Mahendra lelaki bermata elang yang kerap keluar masuk ruang BK itu berteriak di perpustakaan, guru yang sudah tau tabiat dari laki-laki itu lebih memilih diam.
"U-udah bang" Anak laki-laki yang membaca buku tadi beranjak meninggalkan tempat nya.
"Lama banget"
Sabang menduduki kursi yang ditinggalkan anak laki-laki tadi, lalu memulai membaca buku yang ia pegang.
Bel masuk berbunyi, itu artinya semua siswa harus kembali ke kelasnya masing-masing
"Weh bro Sabang gak masuk kelas?"
Pak Zai, guru seni budaya yang terus berusaha mengubah sifat Sabang, tiba tiba duduk disampingnya.
"Malas saya pak" jawab Sabang, sembari melanjutkan aktivitas baca membacanya.
"Kalau begitu bro Sabang berarti bisa dong bantuin saya?" tanya Pak Zai semangat.
Sabang menutup buku yang tadi ia baca."Bantu apa pak?" kali ini perhatian nya sukses teralihkan.
"Bantu saya bikin patung"
Sabang tampak berfikir, lalu anggukan di kepala nya menjadi tanda persetujuan dari nya.
Kedua nya berjalan menuju ruang seni.
"Bro, bro Sabang." Pak Zai memanggil Sabang yang sudah berjalan di depan nya."Bro Sabang lanjut saja ke ruang seni, bapak mau ke toilet sebentar."
Sabang kembali mengangguk, perlahan meninggalkan Pak Zai, setelah melihat Sabang yang mulai menjauh, Pak Zai mengeluarkan ponselnya lalu menelepon seseorang.
***
Sabang melihat-lihat ruang seni milik Pak Zai, ruangan kecil tepat di samping lorong menuju toilet cowok.
Sabang mulai mengenal Pak Zai saat dirinya hampir di skor, saat itu Pak Zai lah yang menjadi jaminan kalau Sabang tidak ikut perkelahian semacam yang di tuduhkan kepada nya itu, padahal kalau bisa dihitung Sabang bahkan tidak pernah menyapa satu pun guru disekolah jika bertemu -termasuk pak Zai.
Pak Zai menepuk pelan pundak Sabang "maaf saya lama ya" Pak Zai berjalan lalu duduk di sebuah kursi rotan di ruangan itu.
"ga masalah pak, jadi patung seperti apa yang bakalan kita bikin?"
"Waduh santai dulu bro Sabang, duduk dulu, duduk dulu"
Sabang mulai duduk di samping Pak Zai. Sebuah pemantik dan sebungkus rokok tergeletak di atas meja.
"Bapak merokok?" pertanyaan itu meluncur tiba-tiba dari mulut Sabang.
Pak Zai yang mendengar itu malah mengeluarkan sebatang rokok itu dari bungkus nya, membakar ujung lalu menikmati kepulan nikotin penuh candu itu. "Iyaa, rokok buat saya adalah pelarian, disaat saya tertekan rokok ini lah yang membuat pikiran saya menjadi lebih tenang, kamu mau?" tawarnya.
"Engga" jawab Sabang singkat, perhatian Sabang kini teralihkan pada buku dengan cover warna coklat, isinya berupa sketsa gambar patung-patung milik Pak Zai.
"Ini siapa pak?" tanya nya.
"Owh itu istri saya, Rinjani namanya."
"Ternyata bapak orang nya romantis juga ya" Sabang terkekeh pelan.
Pak Zai ikut tertawa, seraya membuang abu rokok ke dalam asbak."Jelas, dulu semasa sekolah saya itu suka sekali dengan Jani istri saya ini, Jani itu orang yang sederhana, namun kesederhanaan nya itu yang bikin saya jatuh hati, saya kagum pada Jani."
Pak Zai asyik bercerita, namun pikiran Sabang justru berkelana dalam diri. Lagi-lagi Pak Zai menepuk pelan pundak Sabang."Bro masih aman?"
"Aman, aman pak"
"Hahaha, saya bercerita tapi pikiran kamu malah berkelana entah kemana, mikirin apa sih?" tanya Pak Zai penuh selidik.
"Ngga mikir apa-apa pak." tukasnya.
"Ya sudah kalau gitu kita lanjutkan bahas soal patung nya ya."
Pak Zai memperhatikan Sabang yang fokus mencoret sketchbook milik Pak Zai, Sabang memang menyukai Seni dan Sastra, karena itulah Pak Zai berdebat dengan guru lainnya untuk mempertahankan Sabang bersekolah di sana.
"Permisi pak"
Seorang perempuan dengan rambut sebahu yang di hiasi jepitan hello Kitty berwarna biru, berdiri di daun pintu ruangan seni Pak Zai yang terbuka. Dia, Sabina Aurellya
Pak Zai menyuruh Sabina masuk dan ikut duduk bergabung dengan mereka, namun dia tetap berdiri di tempat nya.
"Ada perlu apa bin?" tanya Pak Zai.
"Begini pak, tugas Bina ada yang belum selesai sama bapak, yang bikin sketsa wajah itu loh pak, jadi bina pengen nuntasin itu sebelum kenaikan kelas pak." Ujar Sabina
Pak Zai menaruh pensil nya, sementara Sabang masih berkutat pada sketsa patungnya."Sudah dapat objek nya?" Pak Zai bertanya pelan.
"Sudah pak"
"Ya sudah bapak kasih Bina waktu seminggu buat bikin sketsa nya, setelah itu sketsa nya akan di koreksi sama asisten bapak ini" Pak Zai menepuk pundak Sabang. "Gimana Sabang, kamu bisa bantu Sabina kan?"
Sabang menatap Sabina yang masih berdiri di ambang pintu, "Bisa pak" jawab si empunya nama.
Sabina ikut menatap Sabang, kini kedua mata mereka saling bertemu, Sabang memutus kontak mata itu terlebih dahulu.
"kalau gitu Sabina pamit ke kelas ya pak." Sabina berjalan keluar meninggalkan ruangan itu,tapi justru kini pikiran nya tertuju pada lelaki itu.
"Dia siapa ko aku ngga pernah liat?" monolog Bina
Tersadar dengan itu, Bina bermonolog lagi,"ihh kenapa jadi mikirin dia sih."
Sabina berjalan menuju kelas, tepat di depan kelas, sahabat nya Maren malah menyenggol lengan nya dengan pelan, "Sabina, dari mana?" tanya Maren sambil mengangkat kedua alis nya dua kali.
"Ruang Pak Zai"
Maren bertanya saat mendapati Bina melamun,"lo ngelamunin apa Bi?"
"Ren, kamu kenal sama Sabang ngga?" Sabina bertanya pelan, takut-takut kalau nanti Maren mencurigainya.
"Kenal, kenapa mang?"
"Ngga papa, Sabang tu kaka kelas kan ya?"
Maren yang mulai mengetahui arah pertanyaan Sabina mulai memicingkan kedua matanya "lo tertarik sama Sabang Mahendra Bi?" selidik nya.
Sabina reflek menggeleng, oh namanya Sabang Mahendra,"engga, engga apaan sih orang nanya doang" tukasnya.
"Kalau iya juga ngga papa Bi" goda Maren sambil tersenyum jahil.
"Ah udahlah, capek ngomong sama kamu Ren." Sabina masuk ke kelas meninggal kan Maren yang masih tertawa di ambang pintu.
***
Pelajaran Ekonomi dimulai, Bu Fat guru ekonomi paling baik seantero sekolah menyuruh kami membuka buku halaman 147.
"Anak- anak ibuk, tolong kerjakan lah tugas Halaman 147 ya, ibu ada urusan di ruang BK sebentar."
Semua anak di kelas menjawab serempak, "baik bu." Lalu Bu Fat berjalan keluar meninggalkan kelas.
Maren yang melihat punggung Bu Fat yang mulai hilang dari pandangan nya pun segera menggeser kursi nya mendekat pada Sabina,"Bi, kamu ngambek?" tanya Maren setengah berbisik.
Sabina yang tengah menulis itu pun menoleh sebentar,"Endaa" jawab nya singkat.
Tidak puas dengan jawaban Bina, Maren pun meraih buku Sabina, dan menulis kata 'sorry' disana.
Sabina menatap tulisan sahabat nya itu lalu menoleh sebentar sambil tersenyum manis, dan akhirnya keduanya pun tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Sab!!
Teen FictionSetiap pertemuan pasti memberikan dua hal satu pengalaman dan satu lagi pelajaran