Sadika masih terpana di hadapan pintu kos an nya yang terbakar. Sudah lenyap segalanya. Barang-barang nya habis. Kasur, meja, tv, peralatan musik nya ludes di jalar api. Hanya satu yang masih bisa di selamatkan, gitar nya.
Beberapa orang disana mencoba membujuk, menyemangati, dan berkata "jika butuh bantuan, hubungi kami saja" begitu, tapi dia butuh segalanya kembali, ya kembali.
Sabang yang pagi itu hanya memakai kaos oblong dan celana pendek, turun dari motor. Berjalan menuju sahabat nya. "Gue cuma bisa bilang sabar, dan menguatkan, yang bakalan tau, diri lo sendiri dan---."
"Gue udah kehilangan rasa bangga gue Bang" Sadika memotong. "Asal lo tau Sabang Mahendra, nggak ada yang istimewa lagi selain tempat ini untuk gue."
Ya Sabang memang tidak tau seberapa istimewa tempat itu untuk sahabat nya, karena sejauh mereka berteman, ia hanya tau itu hanya kosan kecil milik sahabat nya. Dia ingin tau itu, tapi dia ingin sahabat nya sendiri lah yang akan memberi taunya, sendiri.
"Lo minum dulu, dik." ucap nya memberi segelas air yang tadinya ia minta dengan tetangga sekitar.
"Gimana kalau lo tinggal dulu dirumah gua Dik." bujuk Sabang.
Sadika menunduk, dia jelas tidak tau harus apa lagi sekarang.
***
Pagi ini keluarga Sabina sibuk mengisi koper, karena sebentar lagi mereka resmi akan berangkat ke Jogja, menyusul Sadam dan Tante Maya yang sudah pergi beberapa hari yang lalu.
Sabina keluar dengan langkah gontai nya, sepagi ini suasana hati nya kurang baik, dikarenakan baterai ponsel yang habis total, dia jadi tidak bisa mengabari beberapa orang terdekat nya, padahal ia berniat ingin memberitahu Sabang dan Maren bahwa dia akan berangkat ke Jogja hari ini.
"Bunda, udah belum telfonan nya?"
Bunda yang terlihat masih asik menelpon seseorang di seberang sana tidak menggubris pertanyaan sang putri.
"Bunda, Bina pinjem telfon nya bentar dong" sekali lagi ia meminta dengan sedikit menoel lengan sang bunda.
"Aduh sebentar Bi, ini bunda lagi telfonan sama Tante Maya nih."
"Tapi Bina juga sebentar ko Bun" rengeknya.
"Hhh...ya udah." bunda menutup telponnya, lalu memberi ruang untuk Sabina, Sabina dengan cepat menyambar telepon rumah nya.
"Hubungin siapa dulu ya?" monolog nya.
"Ka Sabang."
Sabina menelepon Sabang namun bukan suara Sabang yang ia dengar, tapi suara dari operator pesan suara.
Ini adalah kotak pesan dari 08****, anda bisa meninggalkan pesan setelah nada berikut. Terima kasih
"Halo ka, ngg.... gini aku cuma mau bilang kalau hari ini aku sekeluarga mau berangkat ke Jogja, hp aku lowbat, jadi mesti pake telfon rumah, oiya ka Sabang udah mandi belum? hehe"
Sabina menutup teleponnya setelah mengucapkan beberapa kalimat itu.
***
Rumah yang tergolong sederhana ini kini di isi dengan kehadiran tamu yang jelas tidak pernah Sabang undang.Ya dia Hera,mamanya.
"Ngapain?"
"Hh..kamu itu ya, selalu saja dingin sama mama," perempuan itu berdiri menghampiri Sabang, dan Sadika yang berada dibelakang nya pun hanya bisa terdiam.
"Ngapain lagi kesini? mau ingetin saya tentang janji saya?" tanya Sabang dengan nada yang agak tenang.
"Of course, tapi bukan hanya itu maksud saya datang kesini," perempuan itu menjeda kalimat nya sejenak.
"saya ingin mempercepat keberangkatan kamu, tentu setelah ujian, segalanya akan saya urus, kamu tidak perlu mengurus apa pun lagi." dia tersenyum seolah itu adalah senyum kemenangan.
"Terserah" jawab Sabang, lalu berlalu meninggalkan Hera.
Hera menatap Sadika yang masih berdiri, tentu dia tau apa yang dialami sahabat putranya itu kali ini.
"Saya tidak pernah main-main dengan ucapan saya, kamu harus hati-hati, honey" Ucap nya kepada Sadika.
Sabang melempar tubuh nya ke hamparan kasur,yang terbilang empuk itu, Sadika menyusul setelah nya.
"Lo beneran mau berangkat Sab?"
"Ya"
"Sabina gimana?"
"Gue dan Sabina ngga ada hubungan apapun, jadi gue nggak perlu mikirin dia gimana-gimana"
"Maksud gue, bukannya lo udah deket sama dia, apadia nggak sedih?"
"Ya, itu urusan dia"
Entah ke egoisan apa yang melanda Sabang, dia kembali seperti dulu, menghancurkan segala, perasaan, bahkan kepercayaan orang-orang disekitarnya. Dan itu alasan mengapa sampai sekarang dia tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan gadis itu.
Ting.
Sabang membuka pesan suara dari telepon nya.
"Halo ka, ngg.... gini aku cuma mau bilang kalau hari ini aku sekeluarga mau berangkat ke Jogja, hp aku lowbat, jadi mesti pake telfon rumah, oiya ka Sabang udah mandi belum? hehe"
Sabang terdiam, kenapa harus seperti ini, kenapa pikiran nya menolak tapi hatinya tidak.
Dia, dia mau Sabina. Dia.... ingin gadis itu ada didekat nya.
Selalu.
***
Sabina sudah dengan ponsel yang baterai nya terisi penuh, asik berdiri sambil berbalas chat dengan Maren.
Raden, yang baru saja menghidupkan mobil, keluar tergesa-gesa sambil menelepon seseorang.
Setelah selesai menelpon,Raden tampak pucat," ayah, bunda kalian duluan aja ke Jogja, nanti Raden nyusul." ujarnya.
"Kenapa nak? siapa yang nelfon?"tanya bunda.
"Rumah sakit, Risa ma, dia masuk IGD." jawabnya sedikit gelisah.
"Ya sudah kalau gitu, besuk dulu nak, kita tunda sebentar keberangkatan nya."
Raden mengangguk, lalu mengambil motor nya, dan melesat pergi begitu saja.
"Ka Raden kenapa bunda?" tanya Sabina.
"Ka Risa Na, dia masuk rumah sakit"
Risa?
Gadis cantik yang sempat di taksir kaka nya dulu? gadis yang begitu cantik,yang dulunya sempat Sabina kagumi kecantikan nya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Sab!!
Teen FictionSetiap pertemuan pasti memberikan dua hal satu pengalaman dan satu lagi pelajaran