Hujan mengguyur kota, menyisakan ketenangan dan kedamaian, pagi ini Sabina masih meringkuk di balik selimut nya, semalam badan nya panas dia terpaksa harus libur sekolah, sebenarnya juga tidak karena dia juga malas datang kesekolah dan bertemu dengan Sabang, orang yang membuat hatinya menjadi sakit.
"Naa, bunda bikin sop, dimakan ya?!" ucap bunda sambil mengetuk pintu Sabina.
"Sabina masih mau tidur bunda, nanti kalau laper Sabina ambil sendiri." seru nya.
"Ya udah, nanti siap makan minum obat ya Sayang"
Sabina membuka ponselnya, rentetan pesan dari Maren, mengisi kesunyian aplikasi berbalas pesannya itu.
"Sabina, di depan ada temen kamu, katanya mau ketemu."
"Siapa?"
"Sabang" sahut bunda.
Deg ..
'Ka Sabang' Gumamnya
Dia berlari keluar, menatap Sabang dari balik jendela rumah nya.
Dia ngapain kesini sih? batin nya
Sabang terlihat mengeluarkan sesuatu berupa kertas spanduk kecil, bertuliskan kata 'maaf' disana, Sabina merasa sedikit bersalah karena saat ini Sabang berdiri tanpa payung yang melindungi nya.
Ponsel nya berdering.
Bi, bisa keluar sebentar?
Suara itu membuat nya bergetar hebat, ia mengambil payung dan segera membuka pintu. Ia berlari menghampiri Sabang yang sudah basah kuyup disana.
"Ka Sabang gila ya, hujan-hujanan begini!" Sabina yang sudah sepayung dengan Sabang kali ini berteriak keras.
"Maaf, maafin aku karna udah bentak kamu kemaren," sesal Sabang.
"Yang Kaka lakuin kemarin itu emang jahat, tapi aku ngga setega itu biarin Kaka kehujanan disini."
"Kamu maafin aku kan?" lirihnya.
Sabina diam, lalu menarik Sabang menuju teras rumah nya, bunda yang mengintip dari jendela bergegas mengambil handuk untuk Sabang.
"Ini kasih ke temennya" ucap bunda seraya memberikan sebuah handuk berwarna putih itu kepada Sabina.
Sabina mulai menyelimuti tubuh Sabang yang basah itu dengan handuk, lalu membawanya masuk kerumah.
"Mandi dulu ya nak" ucap bunda pada Sabang,"Na tolong tunjukin Sabang toiletnya ya, trus nanti kamu bikinin teh ya buat Sabang, bunda mau cari baju ayah dulu buat di pake sama Sabang." Ujar bunda yang di angguki patuh oleh Sabina.
Setelah cukup lama akhirnya Sabang keluar dari ruang ganti pakaian yang ada dirumah Sabina, dia terlihat gagah memakai baju milik ayah Sabina yang kelihatan agak longgar di badannya.
"Waduh ganteng banget Sabang ini ya, kaya itu aktor Nicholas Saputra waktu muda" celetuk bunda tiba-tiba.
"Makasih tante" ucapnya.
"Panggil bunda aja ya nak ya," pintanya, lalu Sabang mengangguk mengiyakan. "ini bunda ada masak sop, dimakan ya, Na kamu juga makan gih." Seru bunda,dari ruang tamu kepada Sabina.
"Iyaa" sahutnya
Sabina keluar dari dapur membawakan teh untuk Sabang.
"Nih ka, diminum."
"Thanks Bi" ucap nya, namun mata nya terus mengekor melihat Sabina yang masih enggan untuk menatap nya.
Usai makan Sabang dan Sabina memilih duduk di ruang tamu, bunda lagi keluar membeli kebutuhan rumah, suasana rumah ini menjadi canggung seketika, Sabang tidak tau harus berkata apa lagi, begitupun Sabina, ia hanya menunggu kalimat yang nanti nya akan di ucapkan Sabang.
"Sekali lagi maaf Sabina." ucapnya.
"Di maafin ko, tapi ka Sabang jangan gitu lagi, aku ngga mau Kaka sakit, lagian dua hari lagi kan kelas dua belas mau ujian" ujarnya.
"Siap, oiya katanya kamu sakit?"
" Iyaa, cuma udah enakan ko sekarang."
"Owh, jadi bisa dong nanti malem ikut ke cafe"
"Mau ngapain?"
"Itu temen aku ada yang manggung jadi dia mau aku nonton, ngga enak juga kan duduk sendirian ?" kodenya.
" Oke ntar malem kan, ya udah sana pulang, aku mo siap-siap dulu"
"Ngusir?" tanya Sabang seraya menaikkan salah satu alisnya.
"Ya pergi nya kan ntar malem, lagian emangnya Kaka ngga malu jalan sama aku pake baju nya ayah?"
"Ngga lah, orang ini baju calon mertua."
"Ngaco" sergahnya.
Beberapa menit kemudian bunda sampai, tapi tidak sendirian rupanya bunda diantar pulang oleh ayah.
"Nah ini yah, temennya Sabina yang bunda ceritain di jalan tadi."
Pak Hendrawan, ayah nya Sabina menautkan kedua alisnya, wajah nya yang tegas membuat sosoknya terlihat lebih menakutkan.
"Sabang om" Sabang menyalami punggung tangan ayah nya Sabina, namun tangannya tak kunjung di lepaskan, Sabina dan bunda tampak tegang, takut-takut kalau ayah akan mengusir Sabang dari rumah, pasalnya Aldo dulu pernah mampir ke rumah, namun ayahnya Sabina ini tidak suka dan mengusirnya.
Pak Hendrawan mengangguk, lalu mengusap pelan pundak Sabang," pasti kamu lupa sama om." ucap pak Hendrawan dengan senyuman yang jarang ia tampakkan untuk orang lain selain keluarga nya.
Sabang berusaha mengingat apakah sebelumnya ia pernah bertemu dengan ayah nya Sabina." Maaf om saya lupa." Ujar nya.
"Waduh daya ingat anak muda jaman sekarang masa kalah sama yang udah tua." ucap pak Hendra terkekeh pelan.
Mereka berdua duduk berbincang diruang tamu, sementara ibu dan anak ini mengintip dari dapur, entah kenapa saat ini Sabina merasa sangat senang, karna ayahnya menyukai Sabang.
"Na, dapat lampu ijo tuh dari Ayah tercinta." Kata bunda pada Sabina, Sabina yang masih larut dalam kesenangan nya hanya terdiam, sesekali melihat bagaimana ke akrab an dua lelaki yang sangat ia sayangi itu.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12, bunda segera menyiapkan makan siang untuk keluarga nya.
Ka Raden yang di juluki "penghuni kamar ujung" itu pun keluar dari kamarnya, benar saja Ka Raden ini akan keluar kalau ada makanan, kalau lagi kebelet kamar mandi dan kalau pacarnya datang berkunjung kerumah, kalau tidak dia akan berhibernasi di kamar nya, entah itu untuk bermain game atau menelepon ka Laras, kekasihnya itu.
Seperti biasa kursi di meja makan itu selalu terisi penuh, ada ayah, Sabina, bunda dan ka Raden, serta ka Sabang yang kali ini menggantikan posisi bang Sadam di kursi nya.
"Ayo dimakan Sabang." Ucap pak Hendrawan.
"Iya om."
"Sabang kamu tinggal sama siapa?" tanya pak Hendrawan setelah makan siang mereka di tutup dengan pencuci mulut yang sengaja di buat oleh bunda.
"Sendirian om" jawab Sabang.
" Loh ko sendiri, ayah kamu dimana?"
"Ayah melaut om, jarang pulang"
"Kalau mama?" tanya pak Hendrawan, Sabang menggeleng sambil berkata pelan," Ayah dan mama saya sudah pisah om, dan sekarang mama saya tinggal dengan keluarga baru nya."
"Oh maaf om ngga tau, om pikir kamu nge kost."
"Kalau gitu anggap om sebagai ayah kamu, dan bunda nya Sabina sebagai bunda kamu ya Sabang." Pinta om hendrawan.
"Dan gue sebagai Abang Lo" ucap Ka Raden, tidak seperti biasanya, dia sedikit lebih ramah, walaupun ada kesan jutek pada wajah nya yang tampan itu.
Sabang tersenyum,ada rasa bahagia yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, ia menyukai semua hal tentang Sabina dan keluarga nya, dan ya, ia ingin sekali benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Sab!!
Teen FictionSetiap pertemuan pasti memberikan dua hal satu pengalaman dan satu lagi pelajaran