Bagian 1 - Potret Kehidupan

2.8K 341 20
                                    

Maret, 2017


"Ayya. Kamu tahu nggak kalau Ridho orangtua itu Ridho Allah juga. Kamu nggak dapet Ridho dari Mama, ya kamu juga nggak akan dapet Ridho dari Allah."

"Memangnya kamu nggak butuh diwaliin sama Papa waktu kamu nikah?"

Ayya. Tidak pernah. Meminta. Untuk. Dilahirkan!

Penekanan kalimat itu hanya tercekat di tenggorokannya, tak pernah bisa ia utarakan karena Ayyara jelas tahu, jawaban apa yang akan ia dapatkan dari kedua orangtuanya. Tentu saja, jawaban yang sama. Tentang betapa besarnya peran kedua orangtuanya dalam hidup Ayya, tentang kebutuhan Ayya akan peran mereka dalam hidup Ayya. Padahal masih ada peran lain yang lebih penting—yang seharusnya dilakukan oleh orangtuanya. Ayya tak pernah bisa memprotes, karena ia hanya seorang anak, posisinya jauh berada di bawah kedua orangtuanya. Bahkan sekalipun Ayya marah kepada mereka, ia hanya bisa diam. Karena ia merasa ia bukan apa-apa.

Ayya tersenyum miring. Tangannya bergerak dengan cepat untuk menghapus air mata yang turun dari pelupuk matanya. Di dunia ini, lebih tepatnya ... di dalam hidupnya, menjadi anak terasa begitu sulit karena ia tidak tumbuh seperti anak-anak lain yang dibesarkan penuh cinta oleh orangtuanya. Sedang Ayya? Bagaimana ia bisa merasa dibesarkan oleh cinta ketika kedua orang tuanya saja tidak harmonis, bahkan ketika bersama-sama pun Ayya tak pernah melihat cinta dari mata kedua orangtuanya, keduanya terpaksa menikah, namun Ayya juga masih tak mengerti ... kenapa keterpaksaan itu malah membuat Ayya lahir di dunia ini? Padahal seharusnya mereka belajar saling mencintai saja, dari pada melahirkan Ayya, dari pada Ayya tidak mendapatkan cinta dari keluarganya.

Ayahnya meninggalkan ia dan Ibunya, tidak pernah menghubungi Ayya, dan tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Oh, ralat. Tentu saja menghubunginya, kalau ada butuhnya. Benar. Seorang ayah bisa lepas dari tanggung jawab terhadap anaknya, tetapi seorang anak ... tentu saja harus siap sedia kalau-kalau dibutuhkan oleh ayahnya. Seperti hari ini. Alasan Ayya menangis dan mengungkit semua ini di hadapan teman-temannya.

Ayahnya tiba-tiba menghubunginya dan mengatakan bahwa dia membutuhkan bantuan Ayya untuk mengurus sebuah berkas yang tidak bisa ia tangani, tanpa permintaan maaf karena sudah menghilang, tanpa bujukan, dan tentu saja tanpa tahu malu. Benar-benar menyebalkan.

"Padahal aku merasa, aku jadi anak tuh nggak macem-macem. Baik-baik banget perasaan. Apa narkobaan aja ya aku?"

"WOY! Mulut lo!" kata Kaureen.

Ayya menghela napasnya, "Ya gimana, punya anak baik aja papa aku nggak bersyukur, lah mending punya anak kriminal aja, biar dia merasa ditegur Tuhan."

Maisy menatap Ayya dan Kaureen seraya menghela napas, "Kayaknya jalan buat menuju bahagia cuman bisa didapatkan sama orang yang dari awal memang selalu dipenuhi oleh bahagia."

"Jujur iya," jawab Kaureen.

Ia menatap Ayya dan Maisy seraya tersenyum miring, "Kita terlalu banyak tertampar kenyataan sampe mikir positif aja susah. Jadi pandangan kita buat kehidupan juga bitter banget."


****


Juna Ardianta menatap orang-orang yang tengah menari di hadapannya dengan kosong. Berkali-kali ia menghela napas dan menenggak minuman di hadapannya. Seharusnya ia sudah mabuk, tapi semakin hari toleransinya terhadap alkohol semakin tinggi, bahkan untuk mabuk saja ia harus menenggak banyak sekali minuman, dan rasanya terkadang menyebalkan.

I (Don't) Need A ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang