September 2017,
Ternyata, butuh waktu cukup lama untuk pulih dari luka yang mendalam. Ibunya baik-baik saja setelah perceraiannya bersama Pak Sugeng, namun seiring dengan berlalunya waktu, luka yang mungkin disembunyikan oleh Ibunya ... mulai muncul ke permukaan dan menyerang semuanya. Sudah dua minggu, Ibunya terbaring karena sakit, dan beberapa dokter memberitahunya, bahwa semua terjadi karena faktor stress yang tinggi. Yah, memangnya ... siapa yang tidak stress setelah perceraian? Bahkan menurut salah satu temannya yang psikolog pun, perceraian tetap menyakitkan bagi seseorang—sekalipun ia benci terhadap pasangannya. Karena apa? Tentu saja karena perjuangannya harus berakhir sia-sia. Yah, setidaknya ... kita akan merasa semua sia-sia ketika kita gagal bukan? padahal, siapa yang tahu ... kegagalan itu justru menyelamatkan kita.
Ayya terbangun dari tidur siangnya, ponselnya berbunyi, dan ia melihat nomor Rianto muncul di sana. Oh Tuhan. Saat hidup sedang berat-beratnya, Ayya malah merasa diteror oleh seseorang.
Meraih ponselnya, Ayya memutuskan untuk mematikan ponselnya. Biar saja, setelah ini Ayya akan mengganti nomornya supaya Rianto tidak bisa menghubunginya! Masa bodoh dengan semua klien di kantornya, Ayya bisa memberitahu mereka satu per satu. Benar. Seharusnya begitu sejak awal bukan? tapi sampai sekarang, Ayya masih saja bertahan dan membiarkan Rianto mengganggunya, padahal Ayya bisa menolaknya, atau bahkan Ayya bisa memberitahu Rianto baik-baik kalau dia tidak bisa menerima kehadiran Rianto dalam bentuk apapun di hidupnya, sekali pun hanya seorang kenalan.
Ponselnya berbunyi lagi. Ayya berdecak. Ia meraihnya dan melihat pesan masuk berasal dari Ibunya.
Ayya sini ke kamar mama.
Mengerutkan keningnya, Ayya bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar Ibunya.
"Kenapa? Mama butuh sesuatu?" tanyanya.
Sebenarnya kondisi Ibunya sudah mulai membaik sekarang, beliau sudah bisa bangun dan berjalan-jalan keciil di dalam rumah, tapi tetap saja masih harus dipantau oleh Ayya—lebih tepatnya oleh adiknya sih, karena Ayya sibuk bekerja.
"Sini duduk," kata Ibunya.
Ayya masih kebingungan, namun ia menuruti Ibunya untuk duduk di samping Ibunya.
"Rianto ngehubungi kamu?"
Begitu nama Rianto disebut, Ayya melebarkan matanya. Wah. Rianto sialan! Apa dia mengadu pada Ibunya?
"O—oh iya, ada," kata Ayya.
"Terus gimana?"
"Apanya?"
"Iya, apa udah komunikasi?" tanya Ibunya.
Ayya menjawab sekenanya, "Ya gitu aja."
Dina—Ibunya menganggukkan kepala. Ia membenahi posisinya dan menatap Ayya dalam-dalam, "Menurut Mama, jalanin dulu aja Ya."
"Jalanin gimana maksud Mama?"
Dina tersenyum, "Tadi Tante Ratih telpon Mama, katanya Rianto udah suka banget sama kamu, dan dia minta Mamanya—Tante Dewi buat lamar kamu langsung ke Mama. Ya Mama sih seneng dengernya. Menurut Mama, kenapa nggak kamu coba aja Ya?"
Rasanya seperti mendengar putusan hakim atas vonis bersalah meskipun Ayya tidak melakukan dosa apa-apa. Ia, seterkejut itu Ayya mendengarnya. Gadis itu menatap Ibunya tak menyangka. Apa-apaan? Tetapi Rianto—pria itu lebih apa-apaan lagi! Maksudnya, kenapa tiba-tiba mau melamar Ayya ketika Ayya saja tidak pernah menggubrisnya selama tiga bulan terakhir?
KAMU SEDANG MEMBACA
I (Don't) Need A Man
RomanceI pay my rent with my money I buy my own food, I buy my own clothes It may not be enough but I know how to be satisfied That is why I love myself (Miss A - I don't Need a Man) Terlalu lama menggantungkan hidupnya pada diri sendiri membuat Ayyara Ca...