Bagian 9 - Play Me The Classics

533 184 27
                                    

Melarikan diri tak pernah menjadi solusi. Bagaimana tidak, kau hanya pergi sebentar, menghindar dari apa yang mengganggumu tapi kemudian kau akan kembali dan menghadapinya lagi. Sifatnya memang sementara, tapi beberapa orang tetap membutuhkannya bukan?

Ayya sudah menghindar dari Ibunya selama beberapa hari, ia sudah bertahan cukup lama sampai akhirnya, Ibunya masuk ke dalam kamarnya, mengajak Ayya berbicara dengan ekspresi wajahnya yang serius.

Ayya menelan ludahnya dengan berat. Sejak dulu, berbicara dengan Ibunya tak pernah mudah. Bagaimana ya, Ibunya punya aura intimidasi yang kuat sampai-sampai Ayya kadang kewalahan, ia kadang tidak tahu harus menyampaikan pendapatnya seperti apa.

"Mama simpulkan, kamu nggak mau sama Rianto."

Mendengar nama Rianto disebut, jiwa ingin lari yang ada dalam dirinya mulai memberontak. Astaga, Ayya benar-benar ingin lari sekarang juga. Tapi tidak bisa! Ia sudah terjebak dan mau tidak mau, Ayya harus menghadapinya.

"Iya kan?"

Ayya mengangguk pelan sementara Ibunya menatapnya dengan tajam, "Kenapa?"

Wow! Jadi Ayya harus menjelaskannya ya? Tetap harus ada alasan dibalik jawabannya?

"Ayya, jawab Mama," pinta Ibunya.

Ayya menundukkan kepala, tangannya memainkan jemarinya—menunjukkan kegelisahannya saat ini. Kepalanya sibuk menyusun kata demi kata yang akan ia utarakan pada Ibunya. Bahasa mana yang menurutnya lebih baik, kalimat mana yang sekiranya akan dipahami oleh Ibunya, dan beberapa pertimbangan lain yang membuatnya terdiam cukup lama hingga akhirnya Ayya memberanikan diri untuk menatap Ibunya.

"Ayya belum siap," ucapnya.

"Belum siap kenapa? Kalau masalah biaya, meskipun nggak ada yang bertanggung jawab sama kita, Mama bilang juga percaya aja sama Tuhan, pasti selalu ada jalannya. Nggak usah mikirin yang aneh-aneh, semua orang juga nggak pernah siap."

Ayya menggeleng, "Bukan gitu. Ayya cuman ngerasa pernikahan nggak seindah itu?"

"Kamu begini gara-gara perceraian Mama sama Pak Sugeng?"

"Enggak! Bukan! Ayya memang merasa belum siap aja Ma," kata Ayya. Ia menatap Ibunya penuh permohonan, "Buat mengenal laki-laki, buat bangun perasaan, sama-sama berjuang, Ayya kayaknya belum siap. Soalnya masih banyak hal yang pengen Ayya lakuin Ma."

"Apa?"

Ayya mengerjapkan matanya saat ditanya seperti itu.

"Yah. Banyak. Lagian umur Ayya juga baru dua tiga, masih terlalu dini buat mikirin yang begitu."

Ibunya terdiam sejenak, membuat suasana di antara mereka berubah hening. Ayya menatapnya dengan takut, ia ingin memastikan apakah Ibunya marah atau tidak kepadanya.

Dina menatapnya dalam-dalam dan berkata, "Ya udah! Kalau gitu berarti Mama tolak lamarannya Rianto ya?"

Ayya tersenyum seraya mengangguk, "Iya! Dan Ayya harap, Mama sama Tante Ratih baik-baik aja ya?"

"Oh, kalau itu sih nggak usah khawatir. Mama aman-aman aja kok sama Tante Ratih."

Menganggukkan kepala, Ayya merasa lega mendengar Ibunya menerima semua keputusannya.


****


Apakah tinggal sendirian se-membosankan ini?

I (Don't) Need A ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang