Pukul satu dini hari. Pemuda itu berlari sekencang mungkin di bawah guyuran hujan yang begitu lebat. Tak peduli dengan udara yang berhasil membuat tulangnya ngilu, ia terus berlari menuju rumah sakit sembari menggendong seseorang di punggungnya. Orang itu sekarat, si pemuda tak mau kehilangannya, "Jangan ambil dia dulu Ya Tuhan..."
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan tertatih, Tarez berhasil membawa Irin ke rumah sakit. Dan kini ia tengah berjongkok di depan ruang Irin, tak peduli dengan kaos tipisnya yang sudah berlumuran darah, ia terus menangis, pikirannya pun tak karuan. Kenapa dokter lama sekali menangani Irin? Apa terjadi sesuatu? Semakin keras lah tangisan Tarez hingga membuat suster yang kebetulan lewat berusaha menenangkannya.
"T-tuan tenanglah dulu..., bajumu basah sebaiknya bersihkan dulu tubuhmu."
"Hik! Jangan dulu Tuhan..., jangan..."
"Tuan kau bisa sakit! Oh astaga apa dia dimasuki makhluk halus? Kenapa perilakunya seperti 'kesetanan?'."
"Sahabatku sedang berjuang di dalam sana!! Aku tak bisa..."
Suster itu merasa iba, ia memilih duduk di samping Tarez sembari mengawasi lelaki itu, takut takut Tarez benar kesurupan.
Pintu ruangan terbuka, Tarez langsung menghampiri sang dokter, "gimana keadaan Irin hik!"
Dokter Sehun tersenyum, "Tarez..., jangan nangis gitu dong! Irin nggak kenapa napa!"
"B-beneran, pa?"
Sehun mengangguk, "ganti baju kamu gih sama baju papa, kamu udah kayak gembel gitu."
Tarez mengangguk dan pergi, tersisa suster dan Dokter Sehun, "dok, itu anaknya dokter?"
Sehun ngangguk, "iya, itu anak tunggal saya." Suster itu ber-oh kecil.
"Eh suster Shana, ya?" Sehun balik bertanya. Dan suster tersebut mengangguk pelan.
"Yang anak saya tangisin itu sepupu kamu loh."
"Hah?? Jadi sepupu saya masuk rumah sakit?!"
💌💌💌
Seusai mengganti baju, Tarez mengahampiri ruangan Irin, papanya bilang Irin sudah sadar.
"Makasih ya..." Irin berkata dengan suara paraunya.
"Buat apa?"
"Kalau lo ngga ada, bisa aja gue udah mati." Irin tersenyum setelahnya, sementara Tarez mengangguk pelan.
"Lo kenapa bisa kecelakaan gitu?"
Tatapan Irin menerawang, kepalanya berdenyut nyeri kala mengingat kejadian itu. "Kemarin gue sama Samuel ngedate sampai malem, mobil yang kita pakai remnya blong. Samuel..., dia loncat dari mobil ninggalin gue yang ngga tau harus ngapain, gue juga mau loncat tapi mobilnya keburu nabrak pohon. Jalanan lagi sepi karena udah tengah malem, dengan setengah kesadaran gue telpon seseorang, gue ngga tau siapa karena pandangan gue mulai kabur. Ternyata itu lo, ya?"
Tarez mengangguk, "insomnia gue lagi kambuh, eh ada telpon dari lo kecelakaan. Panik gue, gila lo udah hampir sekarat begitu, Rin."
"Lo khawatir ya, Rez?" Irin bergumam, tapi Tarez mendengarnya dengan baik.
"Iya lah! Lo mending putusin dah tu si Samuel!! Kentara banget dia ngga peduli sama lo!" Tarez bersungut sungut, hatinya sakit tau liat cewek yang dia suka begini.
Irin senyum, Tarez segitu khawatirmya sama dia, dia seneng disayangin Tarez sebegitunya, mau gimana pun Tarez itu temen dari kecilnya. Sebegitu deketnya sampe Tarez manggil Irin aja ngga ada embel embel kakak atau apapun itu, embel embel sayang sih iya. Irin udah anggap Tarez kayak adiknya sendiri kok.
Tapi...
Tarez nggak anggap gitu.
"Rin."
"Kenapa, Rez?"
"G-gue mau ngomong!"
"Tinggal ngomong, dari tadi lo juga udah ngomong kali."
"Gue suka sama lo hhe..."
1 detik
2 detik
3 detik
"Iya gue juga..., gemes banget sih ni adek gue!!" Irin ngunyel ngunyel pipi Tarez, mengira Tarez bercanda.
"Gue serius, Rin. Lo mau kan jadi istri gue?"
-tbc
Vanilla
KAMU SEDANG MEMBACA
FARUTA 12 || Blok A
Fanfiction"Angka kelahiran di negara kita makin rendah. Itu kenapa pemerintah menetapkan sistem 'nikah di bawah umur 23 tahun'." - Auriga Sabin "Jadi kita dijodohin pemerintah, gitu?!" - Prima Naurin