☁️ ;; 七 𝗼watta 終わった ¡!❞

313 51 8
                                    

nana . owatta
verb, means ended.

───────

Hari ini... terasa seperti akan ada hal buruk yang terjadi.

Itulah firasat (Y/n) sejak tadi pagi. Ia bahkan berpikiran untuk tidak masuk sekolah hari ini. Sebab barangkali hal buruk itu akan terjadi di sekolahnya. Mungkin saja, tak ada yang tahu.

Tetapi, karena memikirkan kedua orang tuanya yang bekerja entah di mana untuk menyokong pendidikannya, (Y/n) pun memutuskan untuk tetap masuk sekolah. Maafkan saja kesalahannya di hari pertama sekolah saat itu. Memang merupakan hal yang ia sengaja. Sebab karena ia membolos, terjadilah pertemuannya dengan Nagi.

Tak ada penyesalan yang (Y/n) rasakan setelah bertemu dengan Nagi di hari itu. Namun, setelah waktu berlalu dua puluh hari, sebelas jam, empat puluh delapan detik, tunas rasa penyesalan itu mulai tumbuh di dalam benaknya.

Apakah karena kebohongan yang sama-sama mereka tanam untuk satu sama lain? (Y/n) masih tidak terlalu yakin. Perasaan bahagia sebab bisa bertemu husbunya kini telah lenyap. Pada awalnya ia memang merasa sangat senang dan menantikan momen tak masuk akal ini. Namun, di sisi lain, gadis itu mulai berharap seandainya hal ini tak pernah terjadi.

Siang baru saja menyapa. Matahari tepat berada di atas kepala. Panas yang tak begitu menyengat dapat dirasa. (Y/n) meraih ponselnya dari dalam tas. Lalu, menekan angka satu. Nada sambung pun terdengar.

"Nagi, di mana kau saat ini?"

Dari jauh sana terdengar suara datar milik Nagi, menjawab pertanyaan (Y/n), "Aku di rumah."

"Oh, baiklah."

Hening yang panjang mulai bergema. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi pada Nagi. Lelaki itu pun demikian. Dari seberang sana, ia hanya menunggu (Y/n) mengatakan sesuatu. Mengingat saat ini adalah kali pertamanya mereka berbicara melalui sambungan telepon. History panggilan terakhir mereka hanyalah ketika Nagi dihubungi oleh pihak rumah sakit menggunakan ponsel (Y/n). Hanya itu saja.

Toh mereka bertemu setiap hari. Pembicaraan melalui telepon tidak terlalu efektif. Mengingat keduanya tinggal di atap yang sama, dengan kamar yang berbeda. Bukan tidak jarang jikalau (Y/n) dan Nagi bisa mengatakan hal yang mereka ingin katakan secara langsung.

"Kalau begitu, aku tutup teleponnya. Apa kau masih ingin mengatakan sesuatu?" tanya (Y/n) memastikan.

Nagi diam sejenak, lalu berkata, "Tidak."

Setidaknya, (Y/n) tahu bahwa Nagi baik-baik saja. Ketahuannya itu telah mampu mengurangi rasa khawatirnya.

***

"Tidak."

Tepat setelah kata itu diucapkan, sambungan telepon pun dimatikan. Nagi meletakkan ponselnya ke atas meja. Lalu, ia menatap ke sekitar.

Tatapannya berakhir ke sebuah tumpukan kertas tak terpakai di sudut kamar. Ia beranjak ke sana, membersihkan debu yang menempel, kemudian dibawa ke atas meja belajar. Kumpulan kertas itu hanyalah kertas kosong yang tak ditulis apapun di atasnya. Bahkan bercak tinta juga tidak ada.

Sesaat Nagi kembali merasa risau, meskipun samar. Panggilan telepon yang ia dan (Y/n) baru saja lakukan sempat membuatnya merasa sedikit lega. Sebab karena itu, ia tahu (Y/n) dalam keadaan baik-baik saja.

Payahnya Nagi tidak tahu bagaimana menghubungi (Y/n). Bukan karena ia tak tahu cara menggunakan ponselnya, melainkan sebab lelaki itu tidak tahu harus berkata apa selanjutnya. Mengucapkan "selamat siang"? Sangat tidak mungkin. Karena itulah, Nagi kebingungan untuk pertama kalinya.

Netra abu-abunya kembali menatap tumpukan kertas tadi. Sementara otaknya mulai berpikir apa yang bisa ia lakukan dengan itu. Lalu, terbentuklah sebuah ide yang tak akan pernah Nagi pikirkan sama sekali.

***

Ketika langit jingga dilebarkan, awan-awan menyebar, burung-burung berkicau tak sabar, hati ingin cepat menyambar tas. Pulang adalah langkah selanjutnya. Dengan demikian, hari ini akan berakhir dengan cepat. Itulah yang mengisi kepala (Y/n) sejak dua jam yang lalu sebelum jam pulang berdentang.

Di kala bel berbunyi, dengan gesit (Y/n) mengambil tasnya. Tak perlu mengucapkan "selamat tinggal" atau "sampai jumpa" pada teman sekelasnya. Sebab, siapa temannya? Nihil.

Sambil tetap hati-hati, kakinya menuruni anak-anak tangga. Lalu, ketika mencapai loker, (Y/n) bergegas mengganti sepatunya. Tungkai kakinya berlari ke arah gerbang sekolah. Semua orang menatapnya heran. Mereka tahu jikalau saat ini merupakan momen yang paling ditunggu, tetapi apakah harus berlari seperti itu?

Perjalanan pulang itu tertunda.

Ponsel (Y/n) yang berada di dalam sakunya tiba-tiba bergetar. Nada dering tidak terdengar. Ia lupa kalau masih meng-silent ponselnya.

"Selamat sore. Apakah benar ini dengan (F/n)-san?"

"Ya, saya sendiri." (Y/n) menjauhkan ponselnya. Ia memastikan sekali lagi bahwa telepon itu tersambung dengan Nagi. Tetapi, suara di seberang sana bukanlah suara lelaki itu. Melainkan suara seorang wanita yang tak ia kenal.

Namun, belum sempat (Y/n) bertanya siapa yang menghubunginya itu, ia sudah lebih terkejut dengan kabar yang diberitahu olehnya. Napasnya memburu, detak jantungnya menggila, ponselnya hampir saja terjatuh jika tak dicengkeram erat.

Ah, rupanya kabar ini adalah bukti dari perasaan tidak enaknya sejak pagi tadi.

***

(Y/n) masih belum pulang.

Itulah hal yang terlintas di dalam kepala Nagi ketika ia mengecek jam di layar ponselnya. Merasa bosan, lelaki itu memutuskan untuk keluar rumah. Meskipun merepotkan, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Acara di televisi tidak membuatnya tertarik sama sekali.

Dengan menjadikan konbini sebagai tujuannya, Nagi beranjak ke luar rumah. Hari sudah sore, sehingga panas matahari mulai meredup. Ia hanya mengenakan hoodie berwarna senada dengan rambutnya. Dipadukan oleh celana training berwarna hitam.

Setibanya di sana, Nagi berjalan ke arah lemari es berisi bento yang dibekukan. Ia mulai memilih menu mana yang akan dibeli olehnya. Kemudian, Nagi pun berlalu ke arah kasir.

Si pegawai kasir tampak terkejut ketika melihat Nagi. Sepertinya ia merasa familiar dengan wajahnya.  Namun, karena tak sopan menatap pembeli seperti itu, dengan cepat ia mengalihkan pandangannya.

Pintu yang dibuka membuat fokus Nagi teralihkan. Ia mendapati seorang laki-laki berdiri di sana. Bau alkohol yang menyengat mencekik indra penciumannya. Nagi merasakan suatu hal yang merepotkan akan terjadi.

Sebelum hal merepotkan itu terjadi, seusai membayar, Nagi bergegas berjalan ke luar. Tetapi, belum sempat sadar akan hal yang terjadi, lelaki itu ambruk ke atas tanah. Tepat di depan konbini.

Suasana yang tak terlalu ramai, langit senja, teriakan orang-orang, semua hal itu berputar-putar di dalam kepala Nagi. Sambil meringis kesakitan sebab luka di perutnya itu.

Benda bernama pisau itu menancap tepat di perutnya. Nagi menatap ngeri ke arah perutnya sendiri. Hoodie yang semula berwarna putih kini mulai didominasi oleh bercak merah.

Dengan sisa kesadarannya, Nagi menatap ke arah sang pelaku. Rupanya laki-laki tadi hendak merampok seisi konbini. Pegawai kasir di dalam sana tampak ketakutan di saat senjata api ditodongkan ke arahnya. Setelah berhasil melancarkan aksinya, laki-laki itu pun pergi.

Matanya yang sayu sebab mulai kekurangan darah hanya bisa menatap ke arah jingga di atas sana. Teriakan orang lebih ramai daripada sebelumnya. Sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya, hal terakhir yang ia ingat ialah tentang (Y/n).

Seorang gadis yang membuat perasaan Nagi berantakan sehingga merepotkan lelaki itu sendiri.

***

END ━━ # . 'As It Happens ✧ Nagi SeishiroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang