14. KDRT terkuak

4 2 0
                                    

"Lo gak ke butik, hari ini?" Suara dari sambungan telepon seluler.

"Nggak Gika. Gue keluar kamar aja belum, dari pagi," jawabku serak.


"Ya udah, deh. Kalau gitu, biar Gue sama Rafka yang handle semuanya. Lo istirahat aja dulu, Beb." Gika mengakhiri pembicaraan di telepon siang ini.

Aku masih mematut diri di depan cermin. Sibuk menutupi memar biru di wajah dengan polesan makeup yang ku punya. Pinggang terasa encok keliling. Belum lagi lebam di betis rasanya perih sekali.

"Dek.. Mba mau pergi, nih," teriak Mbak Yura dari luar.

"Iya, Mba. Yumna gak bisa nemani ke luar, ya," jawabku lebih kencang dari dalam kamar.

"Tapi lo baik-baik aja 'kan?" Suara mbak Yura terdengar khawatir.

"Aman, Mba. No problem." Sahutku terpaksa berbohong. Meski sebenarnya aku mengetahui kecurigaan Mba Yura dari nada tanyanya.

Melalui jendela kamar, aku bisa melihat mobil Kakak sulungku itu berlalu. Kamar Kak Hanan dan aku yang letaknya di lantai dua sangat strategis untuk mengintip pemandangan suasana kompleks setiap sore.

Tetangga depan rumah terlihat begitu harmonis bersama suami dan anak-anaknya. Usia pernikahan mereka juga hampir sama dengan anniversary aku dan Kak Hanan. Sama-sama menikah muda, tetapi mereka sudah memiliki anak lengkap sepasang. Satunya sekolah di taman kanak-kanak, yang satu lagi di playgroup. Begitu informasi yang kudapat saat sesekali mengikuti rewang di blok komplek terdekat.

Sayangnya, nasibku dan tetangga depan rumah itu tidak ada kesamaan. Aku masih sibuk memperhatikan suami dan anak-anaknya yang baru saja pulang dan disambut dengan hangat. Tidak berapa lama tangisku pecah, pipiku berderai air mata. Segera kubekap mulut dengan tangan dan berusaha menahan sesak di dada.

Aku bisa saja mengadukan kelakuan Kak Hanan pada Ibu dan Papi. Atau bahkan langsung saja ke Mama dan Papa mertua. Lagipula yang sangat butuh kerjasama itu perusahaan keluarga Kak Hanan. Pasti mereka yang terancam kehilangan saham jika Papi mengamuk.

Hanya saja, ini bukan murni kesalahan lelaki yang menjadi suamiku. Kalau dipikir-pikir, toh ini salahku juga yang tidak bisa mengubah keras dan bekunya sikap Kak Hanan. Begitupun hatiku, belum bisa mengubah perasaan kagum dan kasih untuk Rafka seorang. Tidak mungkin ku hancurkan harapan orangtua kami hanya karena ego sepihak.

"Halo, Yum. Dress terbaru yang kamu desain kemarin temanya apaan? email ke aku semua barcodenya dong," teriak Airin dari seberang sana.

Ponselku masih melekat di telinga. Kubuka mata yang masih berat dan rasanya bengkak hingga sulit menganga. Ternyata sudah lewat waktu ashar. Aku ketiduran di sofa kamar atas.

"Iya, Rin. Ntar habis ashar Gue email, ya,"

"Belum sholat ashar lo?" Tanya Airin memekik kaget.

Kumatikan sambungan telepon dan gegas bangkit dengan sedikit susah payah. Betisku rasanya masih sangat sakit dan kram. 

Setelah mandi air hangat, sengaja ku pakai dress panjang yang menutupi lengan dan sepanjang mata kaki. Berharap tidak ada yang melihat luka-luka di betis akibat pukulan tadi malam. Sebisa mungkin aku berjalan tidak pincang. Ini bisa gawat! kalau sampai Mba Yura melihat.

"Non..." Bi Niyem mengetuk pintu kamar.

"Iya, Bik?"

"Bu Yura nungguin di ruang tengah. Beliau baru pulang, ada perlu katanya."

"Bilang tunggu sebentar, ya, Bik."

"Baik, Non." 

Sebelum menjumpai Mba Yura, aku harus bisa tampil ceria. Kububuhi eyeliner di mata dan lipstik yang sekurang-kurangnya mampu menutupi warna bibir yang terlihat pucat. Tidak berapa lama terdengar suara klakson mobil Kak Hanan. Aku bergegas turun memenuhi panggilan Mbak Yura.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pasangan ToxicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang