20

1.3K 50 2
                                    

20

Ruang Persidangan 1 telah dibuka.

Beberapa wartawan, keluarga korban, saksi, dan beberapa mahasiswa hukum Universitas Pandawa juga telah berada di dalam ruang persidangan untuk menyaksikan jalannya kasus pembunuhan yang tersangkanya adalah remaja 17 tahun dengan ketidakmampuan mendengar (tuna rungu).

Dewan Hakim belum datang.

Namun, Jaksa Jaevano Lentino sudah berada di dalam ruangan ditemani satu asistennya dengan setumpuk berkas. Jaevano duduk di kursi hitam dan wajahnya menatap lekat pada kursi tersangka yang masih kosong. Di tangan kanannya ada pulpen hitam.

"Pak," asistennya memanggil.

Jaevano tersadar dari lamunannya. "Pengacara terdakwa akan terlambat selama 10 menit, maka dari itu, Dewan Hakim tidak akan memasuki ruangan sebelum semuanya hadir. Apakah Bapak mau keluar terlebih dahulu?"

Mendengar hal tersebut, Jaevano akhirnya beranjak dari kursinya, masih dengan jubah jaksanya, ia pergi keluar dari ruang persidangan dan langkahnya berhenti di area lounge. Di sana, asistennya membelikan beberapa minuman kaleng dingin.

Laki-laki itu duduk di salah satu kursi dengan jantung yang berdegup dengan kencang. Saking gugupnya, ia bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri sebelum suara sepatu hak wanita mengaburkannya. Wanita itu tinggi dengan rambut hitam legam melewatinya.

Minuman kalengnya datang, "Silakan."

"Terima kasih, Vans."

"Tidak perlu tegang. Pak Jaevano sudah melakukan sidang sebanyak 7 kali sendirian. Bayangkan saja seperti yang sudah-sudah." Asistennya yang bernama Vans menyemangatinya. "Kata Miss Mire, Pak Jaevano pasti bisa."

Namun, kata-kata semangat darinya tak dapat menghilangkan perasaannya yang tiba-tiba menjadi sangat tidak karuan. Meskipun sudah beberapa kali berhasil melaksanakan sidang dan memutuskan dakwaan terhadap bermacam-macam tersangka, namun baru kali ini Jaevano menerima kasus pembunuhan. Terlebih lagi, terdakwanya adalah anak di bawah umur. "Tetap saja, ini kasus pembunuhanku yang pertama."

"Bukti-bukti yang dikumpulkan oleh kejaksaan semuanya merujuk pada gadis itu, Pak Jaevano."

"Tapi perasaanku tidak yakin."

"JAEVANO!" itu suara Mire, datang dengan jubah hitam jaksanya dan berlari menghampiri Jaevano. "Aku sudah dengar tentang kasusmu. Ini bukti tambahan, CCTV di area Alun-Alun Kota pada pukul 3 pagi." Mire datang dengan terengah-engah. "Bukan anak itu pembunuhnya, Jaeno. Dia hanyalah saksi. Seorang laki-laki 55 tahun-an yang sudah menjadi buronan selama satu tahun ini adalah pembunuhnya."

"..."

Jaevano terpaku.

***

Jaevano tengah duduk di kursinya yang semula. Rasanya, seluruh badannya gemetar karena gugup.

"Apa yang harus aku lakukan?"

Saat itu, Dewan Hakim telah memasuki ruang sidang, namun pihak kuasa hukum terdakwa pembunuhan belum juga datang.

"Di mana pengacara tersangka?" tanya Dewan Hakim.

Jaevano ikut berdiri dan memberi hormat, "Belum datang, Yang Mulia."

Setelah sesi pemberian hormat telah selesai, tiba-tiba Jaevano menyenggol berkas yang ada di mejanya dan mengakibatkan kertas-kertas tersebut berhamburan di lantai. Sialan! Dengan sangat panik, Jaevano Lentino berlutut untuk merapikan kertas-kertas yang berceceran.

Ia bahkan tidak mendengar suara pintu terbuka.

"Pak Jaevano, pengacaranya sudah datang," bisik Vans.

Jaevano hanya mengangguk. Samar-samar, ia mendengar suara sepatu hak semakin mendekat ke arah tempatnya duduk.

Finding You | Jeno X KarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang