FRAGMEN 1

322 28 5
                                    

Terkadang, aku kesal dengan sikap pemaksa Mama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terkadang, aku kesal dengan sikap pemaksa Mama. Namun, dia merupakan wanita yang berjasa besar melahirkanku ke dunia. Alhasil, mau tidak mau, siap tidak siap, menuruti titah adalah opsi yang paling tepat. Aku pun mendapat sambutan hangat dari Om Arya dan Tante Vanya. Mereka menerima buah tangan yang kubawa dengan sukacita. Tampaknya keluarga ini hidup bahagia, setelah keluargaku pindah ke luar kota.

"Damian sekarang sudah besar, ya," kata Tante Vanya bernostalgia. Belasan tahun silam, kami memang hidup bertetangga. Namun, karena Papa dimutasi, keluargaku pun terpaksa harus meninggalkan kampung halaman. Rumah yang sempat kutinggali dijual, dan entah pemiliknya masih sama atau tidak.

Aku tertawa kecil, kemudian menyahuti perkataan Tante Vanya dengan antusias. Kenangan di kota ini tidak terlalu buruk, aku memiliki banyak teman, dan—

"Aku pulang," ucap seorang gadis sambil melepas sepatu, melempar tas, kemudian menggaruk-garuk kepala hingga rambutnya yang diikat berantakan. Gadis itu berjalan menuju ruang tamu, kemudian menghentikan langkah begitu sadar aku tengah memperhatikannya. Tangan yang tadinya dipakai menggaruk seketika dilepaskan dari kepala. Hal itu sontak saja membuat segaris senyum terbit di sudut bibirku.

Om Arya menggeleng melihat tingkah putrinya. "Damian, masih ingat? Ini Sahla, anak kecil yang dulu suka ngikutin kamu kalau main."

Tentu aku masih ingat. Sahla Zavira, si anak bawang yang selalu mengikutiku ke sana kemari. Sejak kecil dia tidak memiliki teman, entah karena apa alasannya. "Halo, Sahla. Lama nggak ketemu."

Gadis itu terlihat kikuk. Dia menunduk, kemudian mundur guna memungut tas yang dilempar ke sembarang tempat. Melihat tas tersebut, seketika aku mengingat kejadian beberapa waktu lalu di mall. Jadi, si gadis paper bag itu Sahla?

"A-aku mandi dulu. Gerah habis seharian aktivitas di sekolah," pamit Sahla sebelum berlari menaiki anak tangga.

Pandanganku lagi-lagi tertuju pada punggung gadis itu. Tidak disangka, dia mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman-teman di sekolahnya. Lain kali, sepertinya aku harus mengobrol dengan gadis itu, guna menanyakan bagaimana keadaannya.

"Damian, rencananya berapa lama di sini?" tanya Tante Vanya membuatku melepaskan pandangan dari punggung Sahla.

"Oh, nggak lama, kok, Tan. Paling seminggu. Di sini kebetulan ada urusan pekerjaan, jadinya sempetin mampir ke sini. Tante sama Om kapan main ke Jakarta?"

Mereka saling tatap, kemudian tersenyum masam. Kali ini Om Arya yang buka suara, "Kalau ada waktu pasti nyempetin. Kamu lihat sendiri, kan, kondisi perekonomian kami nggak semapan keluarga kamu. Jadi, buat pergi ke luar kota, tentunya harus pakai uang juga."

"Hus, nggak boleh bilang begitu. Soal ke Jakarta, nanti kalau sudah ada rezeki, kami nyempatin buat ke sana. Kangen juga sama mamamu, sudah lama nggak ketemu," ralat Tante Vanya. "Oh, iya, selama di sini kamu tinggal di mana? Kalau belum ada tempat tinggal, bisa nginap di sini aja. Di atas masih ada kamar kosong."

Aku mengibaskan tangan di udara. "Nggak usah repot-repot, Tan, kebetulan buat akomodasi udah disiapin dari kantor."

Mendengar jawabanku, Tante Vanya terlihat kecewa, tapi sebisa mungkin wanita itu menutupinya dengan senyuman. Dia pun menyuruhku untuk tinggal lebih lama, masalahnya ... tujuan utamaku datang ke sini untuk bekerja, bukan liburan. Di sisi lain, aku hanya anak magang yang baru saja mendapatkan pekerjaan tetap sebagai seorang karyawan, rasanya tidak nyaman bila tiba-tiba mengajukan cuti.

"Kalau ada kesempatan, pasti nanti main lagi ke sini, Tan," lanjutku, mencoba menghapus kekecewaan di raut wajah wanita tersebut. "Aku pamit dulu, ya, Om, Tante. Soalnya tadi habis check in langsung ke sini. Sudah malam juga, barangkali Om sama Tante mau istirahat."

Pasangan suami istri tersebut mengangguk. Mereka berkeras akan mengantar sampai ke depan, tapi aku menolak secara halus. Saat keluar dari area rumah tersebut, aku mendongak. Sosok Sahla tertangkap indra, gadis itu berdiri di balkon. Remang lampu tidak dapat menyembunyikan kekagetannya saat tertangkap basah tengah menatapku.

Aku tersenyum sambil melambaikan tangan, lalu berjalan meninggalkan kompleks.

***

"Sahla sekarang sudah lulus SMP. Nilai akhirnya bagus. Tante Vanya bilang, dia masuk SMA favorit," ucap Mama beberapa tahun lalu. Dia memang masih berkontak dengan Tante Vania, mereka selalu berbagi cerita soal banyak hal. Pun, tanpa diminta, Mama selalu menceritakan seputar Sahla padaku.

Dulu, setiap pulang sekolah, aku selalu melihat Sahla menunggu di depan teras. Kadang gadis itu pun tertidur, karena saking lamanya menunggu kepulanganku. Jujur saja, aku agak risi karena gadis itu selalu melakukan hal demikian. Namun, Mama berpesan agar aku mengajak Sahla bermain. Alih-alih mengganggu, dia lebih sering memperhatikan hal yang aku lakukan, tanpa bertanya ini dan itu. Benar-benar bertolak belakang dengan sikap gadis seusianya.

[Ma, misi selesai.

Sebuah pesan kukirim ke kontak Mama melalui pesan WhatsApp. Posisiku ada di hotel sekarang, memeriksa kembali materi yang akan didiskusikan dengan klien esok hari. Fokus pada layar laptop tidak berlangsung lama, karena sebuah pesan tiba-tiba saja masuk.

[Gimana keadaan Tante Vania?

[Mereka baik-baik aja.
Mama nggak perlu khawatir.

[Mama kangen Sahla. Bisa kamu kirimkan fotonya?

Aku menghela napas panjang. Kan, ada-ada saja ulah orang tuaku ini. Maklum saja, dulu, aku tidak terlalu akrab dengan Tante Vanya dan Om Arya. Dekat dengan Sahla saja karena terpaksa. Bukannya tidak suka, melainkan ... risi saja rasanya diikuti anak kecil. Lagi, jarak usia kami terbilang jauh, lima tahun. Bayangkan, dengan jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kami bisa berteman?

Meski seperti itu, nyatanya aku tetap mengajak Sahla bermain; sekadar bersepeda di taman, main ular tangga, atau menemaninya mengerjakan tugas sekolah. Untungnya dia gadis penurut. Apa pun yang kularang selalu dipatuhi. Tidak dipungkuri, di sudut hati terdalam, aku merasa kehilangan sosoknya yang selalu mengekoriku ke sana kemari. Saat-saat itu sudah berlalu dan tak mungkin dapat terulang kembali. Bisa jadi Sahla sudah melupakanku, melupakan sosok kakak yang selalu menemani hari-hari masa kecilnya.

Ah, sudahlah, cukup bernostalgia, sekarang waktunya fokus bekerja. Toh, masa depan dan masa lalu merupakan dua hal yang berbeda. Mereka tidak bisa berjalan secara bersamaan. Yang jelas, masa lalu memberikan pembelajaran agar kita bersiap menghadapi masa depan. Soal hari ini, berusaha memberikan yang terbaik saja sudah cukup.

CherishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang